Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Weton

Cerpen Karya: Ahmad Farid Yahya

“Dik, apa kau percaya weton?”

“Apa itu, Mas?”

“Tentang hari lahir dan pasaran, Dik.”

“Aku tak paham, Mas.”

“Semacam hitungan bagaimana baik-buruknya keidupanku jika dipadu dengan kehidupanmu.”

“Lalu jika buruk, Mas?”

“Hmm, itulah, Dik.”

“Lalu?”

“Jangan dipikir dulu. Ayo ikuti langahku. Naik ke perahu ini.”

***

Apakah nasib bisa dihitung? Kekasih, aku bingung sendiri. Bagaimana mungkin seseorang akan dengan berani memasuki jurang kematiannya dengan penuh sadar?

Suara burung gagak terdengar di magrib ini. Senja telah usai. Yang tersisa tinggal sepinya ombak rawa yang tak pernah bisa kupahami. Perahu kita berjalan pelan membelah ombak tenang yang dihiasi bunga teratai dan kadang-kadang pohon gabus serta eceng gondok.

Di sana, ada seorang bapak-bapak yang memanen ikan, mengangkat jaring yang telah dipasangnya tadi pagi, dan barangkali kemarin. Begitu pilu, hidup menjadi seorang lelaki pencari ikan di rawa. Menghidupi keluarga dengan susah payah. Terbersit apa ya weton-nya? Ah, aku telah lancang memikirkannya.

Perahu kudayung perlahan. Jika aku tak salah kira, maka seharusnya lima menit lagi kita akan segera tiba di tepi rawa dan memulai berganti kendaraan.

Ada yang terus-terusan kupikirkan.  Mengapa hidup bisa serumit ini? Nikah ya nikah, mati ya mati. Jodoh ya jodoh, tidak ya tidak. Tapi mengapa? Aku orang tolol. Aku kaku, dan barangkali kurang religius. Kurasa  takdir tak semudah itu bisa ditebak oleh hitung-hitungan. Lantas, kalau seperti itu, untuk apa, banyak orang mencari hari saat hendak membangun rumah, saat akan membuka warung, dan saat berencana menikah? Untuk apa semua itu kalau semua itu cuma kibul?

Sebentar lagi, sebentar lagi perahu ini akan sampai ujung rawa itu. Ayo mentas. Hari sudah benar-benar gelap. Kurasa bapakmu akan marah-marah lagi ketika aku memulangkanmu terlalu malam. Bisa jadi lebih marah dari kemarin.

“Dik, langsung masuk rumah saja, aku tak mampir.”

“Takut dimarahi Bapak lagi?”

“Aku hanya takut kau kenapa-kenapa.”

“Jadi kenapa, Mas? Apa itu ada hubungannya dengan yang kaubilang weton itu?”

Aku hanya diam memandang sorot matanya yang memancarkan suatu dunia yang sangat kuingini.

“Mas, jawab aku! Jadi weton kita tak cocok? Kita tak berjodoh? Mas,! Ini zaman modern, kenapa kau masih percaya dengan hal semacam itu?”

Kupegang pundaknya, ia mulai menangis. Ternyata mataku juga mulai merasakan hal yang sama. “Dik, aku bingung bagaimana cara mengungkapkan ini padamu. Saat bapakmu bilang weton kita tak cocok, keringatku menetes, pikiranku kalut. Bisa dibilang aku tak percaya dengan hal semacam itu, tapi, bapakmu, Dik, bapakmu begitu memercayainya. Akan banyak marabahaya kalau saja aku masih terus melanjutkan niatku meminangmu. Mungkin ini terdengar aneh dan mustahil. Tapi jangan lupa kalau kita punya  tetangga. Dik, luka sedikit apa pun kau nanti kalau bersuami aku, akan tetap dan terus saja dikait-kaitkan dengan masalah weton ini. Aku tak mau kau menanggung yang lebih menyakitkan lagi.”

“Mas, aku mencintaimu. Bagaimana mungkin cinta kita akan terhalang oleh weton?”

“Sangat mungkin, Dik, sangat mungkin.”

Cengkir, Kepohbaru Bojonegoro 2019
(Dimuat di antologi sastra KOSTELA "Memoar Purnama di Kampung Halaman" dalam rangka 20 tahun kebangkitan sastra-teater Lamongan)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Peresensi: Ahmad Farid Yahya* Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian. Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur. Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judu...

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan...