Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2020

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Kenapa Aku Bisa Tiba-Tiba Saja Jadi Penulis

Jadi gini,--kenapa aku bisa tiba-tiba jadi penulis. Sebenarnya ini bermula sejak SMP. Sewaktu kemah di kaki gunung Kelud, kelas 7. Ada lomba baca puisi "Aku" karya Chairil Anwar. aku penasaran kenapa puisi itu dilombakan, dan hanya puisi itu, tak ada pilihan puisi lain. kemudian saat kelas 8 puisi itu diajarkan lagi. kenapa puisi itu? Chairil Anwar ini siapa? ternyata baru sewaktu kuliah pendidikan aku tahu kalau yang begitu itu namanya kurikulum. Mungkin karena guru tak mencari referensi puisi lain, atau entahlah. Kemudian ketika kelas 10 aliyah, 2012, aku sering menulis puisi di halaman belakang buku. Bisa jadi bukan karena aku puitis, lebih karena aku alay . Coba kita ulur semuanya dulu. Bayangkan, era 2011-2012 adalah masa di mana kita menulis huruf dengan kombinasi angka--yang begitu menjijikan--dan sekarang kita kesusahan baca tulisan era 2011-2012 itu. Ya, masa alay , setingkat di atas pubertas, adalah masa yang sangat produktif. Mencari hal-hal baru, mungk

Review Novel Dawuk

Oleh: Ahmad Farid Yahya Dawuk, sebuah novel peraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017. Novel epik tulisan Mahfud Ikhwan, pria kelahiran Lembor Kecamatan Brondong Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Cover terlihat ikonik dengan gambar ular dan kalajengking yang ditutup dengan block hitam dan terdapat tulisan "dawuk" di atasnya. Tulisan "dawuk" tersebut kalau dilihat lebih jeli ternyata terdapat pola seperti batik pada huruf-hurufnya. Desain cover dengan background kuning terkesan sederhana tapi bagus. Kata/judul "Dawuk" diambil dari julukan si tokoh utama dalam cerita. Plesetan dari nama Muhammad "Dawud". Selain itu Dawuk juga mengartikan warna yang begitu kusam, yang dalam bahasa Indonesia, warna yang bisa dibilang paling menyerupainya adalah warna abu-abu. Warna dawuk ini adalah penyebutan warna kambing, tentunya jenis kambing yang kusam. Tentang kambing berwarna dawuk ini juga pernah disinggung Mahfud Ikhwan dalam novel sebelumn

Resensi Novel Kambing dan Hujan

Resensi oleh: Ahmad Farid Yahya Judul Buku: Kambing dan Hujan Penulis: Mahfud Ikhwan Penerbit: Penerbit Bentang ISBN: 978-602-291-470-9 Edisi kedua, cetakan 1: April 2018 Tebal: viii + 380 halaman; 20,5 cm Harga pulau Jawa: Rp79.000,- *** Penampilan Fisik Covernya menarik dan seperti ada filosofi yang terkandung di dalam ilustrasi pada cover tersebut. Setidaknya begitulah kesimpulan pertama orang yang melihat covernya. Ada spot UV pada gambar pohon yang mirip bentuk jantung tersebut. Permukaan cover yang doff dengan spot UV pada gambar fokus membuat cover ini terkesan wah. Untuk ukuran cukup tebal viii+380 halaman. Ukuran buku ini 20,5cm pada tingginya, tetapi pada bagian lebar tak terlalu lebar. Berkisar 13 atau 14cm. Mengenai desain cover ini, orang jadi penasaran dengan isinya. Digambarkan ada dua pohon di sisi kanan dan kiri. Pada sisi kanan ada seorang pria yang duduk merenung. Begitu juga dengan sisi kiri ada perempuan berjilbab yang duduk merenung. Ada satu pohon yan

Pramoedya Ananta Toer

Jika ditanya buku siapa yang paling banyak saya baca, tentu saja akan dengan lantang saya jawab: Pramoedya Ananta Toer. Buku pertama Pramoedya yang saya baca malahan yang setahu saya paling tebal: Arus Balik. Sekitar 1000 halaman. Itu pun kubaca ketika masih semester 1. Entah 2016 atau 2017. Dari situ aku sudah mulai jatuh cinta dengan sosok satu ini. Satu-satunya Sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra dunia. Tetralogi Bumi Manusia, kubaca dengan urut. Dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Tinggal Rumah Kaca yang belum kupunya. Meski aku juga sudah tamatkan Sang Pemula, buku nonfiksi yang bisa kubilang dasar/kerangka/hasil riset roman tetralogi Bumi Manusia. Di sisi lain aku memang punya kebiasaan menghabiskan buku yang kubaca. Entah masuk ke otak atau tidak, tapi kupikir kurang saja kalau belum kukhatamkan. Pramoedya orang Blora. Arus Balik berkisah tentang Nusantara pasca keruntuhan Majapahit. Dengan setting waktu pada zaman

Seseorang yang Sudah Tak Mau Mendengar Apa Pun Tentang Corona

Oleh: Ahmad Farid Yahya Hujan datang dua kali. Yang pertama bikin jalanan lobang. Yang kedua bikin banjir sepertiga kabupaten. Segerombol orang membantu sesama. Selalu tak lepas dari politik identitas. Memakai pakaian hijau-hijau, ada yang hitam-hitam, ada yang pakai masker, atau bagi-bagi hand sanitizer. Maskernya pun beragam. Ada yang menyerupai masker medis, ada yang masker kain, ada yang masker ala artis Korea, ada yang masker ala Wibu, ada yang masker bersablon. Untuk yang terakhir bukan termasuk politik identitas. Itu politik praktis. Maskernya bersablon nama calon bupati. Salat jumat ditiadakan. Banyak pro-kontra. Dengan dalil sana-sini. Dengan menyalahkan sana-sini. Semua ini membuatku pusing! Sudah sejak Januari lalu kita membahas virus sialan itu. Sudah sejak bulan itu pula kita keluarkan berbagai macam teori konspirasi. Maret, April, Mei, Juni, semestinya "kita saling menyatu". Bukan lagi waktunya membahas virus sialan itu. Meski membedah virus bla bla

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam Aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini Hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah (Puisi Chairil Anwar, 1949)

Wartawan Bodrex

Oleh: Ahmad Farid Yahya Beberapa bulan kemarin aku muak dengan pemberitaan seorang warga Lamongan mencabuli 6 anak di bawah umur yang sesama jenis. Lebih-lebih karena orang itu berasal dari desaku. Entah berapa kali diposting di grup facebook "Beritae Wong Lamongan". Aku tak mau menghakiminya. Orang itu sudah begitu sejak aku MI, dulu juga pernah ketangkap karena nyolong HT, lalu nyolong baju sekitar 2018/2019, dan kemarin ketangkap lagi. Barangkali kejiwaannya hanya tak bisa memosisikan id, ego, dan superego dengan seimbang. Sehingga keinginannya untuk mencuri sering tak tertahankan meski sering pula tertangkap. Aku lebih ingin mengenang tentang dunia pemberitaan. Pagi itu ketika berita tersebut sedang hangat-hangatnya, kulihat penjual koran menjajakan dagangannya di desaku. Ini jarang terjadi. Hanya sekali waktu ketika ada kasus yang memang berasal dari desaku, dan itu pernah beberapa kali. Tahun 2017 saat aku tak punya pekerjaan, seorang tema