Skip to main content

Posts

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Recent posts

Menggoyang Kekukuhan Bahasa Indonesia

Peresensi: Ahmad Farid Yahya * Jawa Pos, 6 Desember 2020 Novel ini menyajikan kerumitan bahasa dengan tujuan membuat bahasa Indonesia berkelindan dengan bahasa daerah. MEMBACA novel Burung Kayu serupa anak bayi belajar bahasa. Novel ini menyajikan kerumitan bahasa, di mana bahasa Mentawai berkelindan dengan bahasa Indonesia baku dalam rangkaian kalimat-paragrafnya. Tanpa catatan kaki, tanpa glosarium. Serupa anak kecil yang mulai memahami kosakata baru, satu per satu. Burung Kayu merupakan novel yang menarik perhatian juri dalam ajang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019. Predikat menarik perhatian juri –yang tak sampai juara I, II, maupun III ini– ternyata jebol pada ajang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019–2020. Alih-alih tersingkir pada short list, Burung Kayu malah memenanginya. Novel ini berkisah tentang seseorang yang mau membalas dendam, tetapi tak kunjung terlaksana dan malah pindah ke tempat lain gara-gara program pemerintah. Kisah-kisah di dalamnya menyajikan kontra

Tren “Bad Boy” Lewat Film Dilan : 1990

  Ananta Bagus Prasetya* Istilah “Bad Boy” dahulu berkonotasi negatif, di mana Bad Boy menjadi sebuah label untuk seorang cowok yang berkelakuan atau berpenampilan menyimpang. Akhir-akhir ini istilah tersebut kembali muncul, berbagai media sosial seperti: Twitter, Instagram dan Facebook  sering menampilkan eksistensi seseorang yang dianggap Bad Boy. Media Sosial sebagai satu wadah informasi yang sering diakses masyarakat, membuat sesuatu yang ditampilkan menjadi sajian publik, bukan tanpa alasan, identitas Bad Boy menjadi salah satu tren yang dalam istilah sekarang “Viral”. Perkembangan istilah-istilah baru di Indonesia akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Istilah-istilah itu hadir karena adanya intervensi buadaya oleh Budaya Populer (Pop Culture), yang mengemas masyarakat dalam sebuah hiburan. Ditambah dengan adanya media sosial sebagai pendistribusi budaya-budaya baru. Ini merupakan sebuah transformasi kapitalisme yang benar-benar tidak terlihat (Soft Identifi

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

Upacara Penyeretan Jiwa : Sepilihan Cerpen Ahmad Farid Yahya

Coronavirus dan Rembesan Masalahnya

M. Mansyur Affandi* Tahun 2020 tampaknya menjadi tahun yang paling berkesan bagi manusia di bumi. Tak pernah terduga sebelumnya bahwa tahun 2020 akan menjadi pengingat yang paling kuat di kepala orang-orang yang hidup di tahun tersebut. Terlepas dari banyaknya isu besar yang beredar sebelum 2020, internasional maupun nasional, seperti pada bidang ekonomi, politik, maupun perang dagang antara Amerika Serikat dengan Tiongkok. Di Indonesia sendiri ada isu lingkungan hidup yang banyak diperbincngkan dalam wacana pemindahan ibu kota. Pada akhir tahun 2019 berawal dari Wuhan, sebuah ibu kota provinsi Hubei di Tiongkok, bencana dimulai. Bencana tersebut disebabkan oleh sebuah virus yang bernama Corona virus atau COVID-19. Setiap virus punya karakteristik dan keunikan masing-masing. Salah satu keunikan dari virus COVID-19 adalah penyebarannya yang sangat cepat dan massiv . Pada awal 2020 virus menyebar ke berbagai negara dan menyebabkan banyak korban. Sampai akhirnya badan kesehatan dunia WHO

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan