Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Tren “Bad Boy” Lewat Film Dilan : 1990

 


Ananta Bagus Prasetya*

Istilah “Bad Boy” dahulu berkonotasi negatif, di mana Bad Boy menjadi sebuah label untuk seorang cowok yang berkelakuan atau berpenampilan menyimpang. Akhir-akhir ini istilah tersebut kembali muncul, berbagai media sosial seperti: Twitter, Instagram dan Facebook  sering menampilkan eksistensi seseorang yang dianggap Bad Boy. Media Sosial sebagai satu wadah informasi yang sering diakses masyarakat, membuat sesuatu yang ditampilkan menjadi sajian publik, bukan tanpa alasan, identitas Bad Boy menjadi salah satu tren yang dalam istilah sekarang “Viral”.

Perkembangan istilah-istilah baru di Indonesia akhir-akhir ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Istilah-istilah itu hadir karena adanya intervensi buadaya oleh Budaya Populer (Pop Culture), yang mengemas masyarakat dalam sebuah hiburan. Ditambah dengan adanya media sosial sebagai pendistribusi budaya-budaya baru. Ini merupakan sebuah transformasi kapitalisme yang benar-benar tidak terlihat (Soft Identification). Lewat hiburan, eksploitasi dilihat sebagai sebuah sifat yang kejam.

Bad Boy menjadi ciri khusus anak muda Indonesia untuk memverifikasi dirinya “keren”. Pada bagian ini membahas terkait penjelasan dari analisis fenomena industri perfilman yang menjadi budaya populer dan influencer bagi mindset masyarakat. Meminjam kerangka teori Jaques Derrida perihal “Logosentrisme” yang didapatkan dalam melihat fenomena tanda-tanda yang menjadi simbol kehadiran, simbol tersebut diupayakan menjadi suatu narasi wacana universal. Dari kerangka mengenai “Logosentrisme” Derrida untuk membaca Bad Boy sebagai suatu tren yang senagaja disajikan dalam sebuah budaya populer agar menciptakan suatu identitas anak muda Indonesia berkategorikan “keren”. Penciptaan kecirikhasan tersebut menggunakan sarana industri perfilman dengan kemampuan sinematografis yang mampu mendramatisir film agar nampak nyata dan sedang dirasakan oleh penonton. Semiotika Visual digunakan sebagai sarana interaksi penonton dengan sosok karakter yang ada pada film tersebut, menciptakan pilihan karakter tersebut dibenci atau disukai. 

Munculnya film Dilan : 1990 menampilkan sosok cowok Bad Boy yang menjadi tokoh utama, lantas menggeser konotasi label Bad Boy yang dulunya dijauhi menajdi yang paling ingin ditiru. Tampilan Bad Boy dalam film Dilan : 1990 meperlihatkan sisi lain Bad Boy yang romantic, keren, peduli dan pemberani. Sisi Bad Boy dalam film Dilan : 1990 diunggah dalam media sosial lantas disukai banyak orang. Sehingga, masyarakat mengimitasi tampilan Bad Boy terutama anak muda menjadi sebuah Raw Model yang patut ditiru. Jumlah unggahan media yang membahas film Dilan : 1990 serta sosok Dilan sendiri yang menciptakan peralihan identitas anak muda Indonesia dari “Ganteng Ganteng Srigala” menjadi “Dilan : 1990”. Peralihan identitas anak muda Indonesia secara mendasar mengubah gaya bicara, pakaian, cara gombal, bahkan jenis kendaraan. Perubahan ini jika dilihat dari kacamata Ariel Haryanto dalam bukunya “Identitas dan Kenikmatan” adalah wajar dilakukan. Identitas akan terus berubah, karena pada dasarnya manusia merasakan kenikmatan saat peralihan identitas. Di mana mendapatkan pengakuan atas eksistensinya. 


Proyeksi Daur Ulang Kecenderungan dalam Film “Dilan : 1990”

Jika ditilik lebih cermat, yang ditampilkan sosok Dilan dalam filmnya merupakan sebuah representasi anak muda era 80’s. Latar yang disajikan memang sengaja dibuat era 80-an, menjadi menarik ketika sesuatu dari masa lalu kembali menjadi tren. Bisa dibilang lewat film tersebut terjadi daur ulang tren. Industri perfilman yang memang termasuk dalam kategori budaya populer menurut Domonic Striati, berbuntut panjang dengan industri yang lain seperti pakaian. Model pakaian Dilan habis terjual di luar sana. Padahal masyarakat sadar pakaian tersebut sudah pernah ada sebelumnya, dari sisi inilah film Dilan berhasil mendaur ulang kecenderungan yang ada di masa lalu dibawa ke masa kini dan diikuti banyak orang. Dari film tersebut memperlihatkan ada siklus dalam masyarakat, sesuatu dari masa lalu akan kembali di masa kini dengan esensi yang berbeda. Masyarakat dengan sadar akan tetap meniru identitas Dilan sebagai sebuah kebanggaan bahwa apa yang diikuti adalah sikap mengikuti zaman.  

Daur ulang kecenderungan ini dibahas oleh Dominic Strinati, mengungkapkan jika budaya lama yang dulu dianggap sebagai budaya massa seperti musik klasik, folk blouse, country dapat menjadi budaya populer seiring dengan berjalannya waktu serta budaya tersebut naik status sosialnya di masyarakat (Aniek Rahmaniah, 2012:64-66). Dari penututuran Dominic Strinati, daur ulang kecenderungan bisa terjadi lewat budaya massa. Walaupun identitas yang diciptakan bentukan daur ulang kecenderungan, tetap menjadi sebuah identitas baru. Lewat film yang dibuat semirip mungkin dengan permasalahan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat juga yang sangat digandrungi anak muda. Daur ulang kecenderungan terjadi akibat dampak dari film Dilan ini, membentuk kelompok baru dengan pandangan yang kontemporer. Masyarakat kontemporer bukan berasal dari warisan masa lalu, tetapi kelompok yang gaya pikiran dan identitas masa lalu lewat budaya populer dikembangkan serta disesuaikan dengan masa sekarang. Lewat berhasilnya film Dilan membaut tema-tema serupa muncul silih berganti. Seperti film: Dear Nathan, Melankolia ; Anak 90’, Teman Tapi Menikah, serta banyak lagi, yang memiliki kecenderungan yang sama seperti era masa lalu dan Bad Boy. Sekarang ini memang kedua tema tersebut menjadi sebauh tema segar yang masih terus dikelola sampai ada yang mempu menggantikannya sebagai lahan segar lagi.

Bukan sekadar tema dalam sebuah film saja yang serupa, pakaian pun ikut imbas. Jaket Jeans, motor Honda “Tua”, dan bahasa puitis kemabli berjaya. Dampak ini seperti mengekor dari keberhasilan film tersebut dalam pandangan masyarakat. Walaupun nampak usang secara tampilan, tetapi hal semacam itu yang disukai oleh anak muda zaman sekarang. Gaya Vintage menjadi primadona baru. Hampir semua industri pakaian atau penunjang penampilan membuat gaya mode lama semua. Jam tangan casio memproduksi tipe F 91W, sepatu dengan Converse 90’, Jaket dengan style mirip Levi’s. Hampir semua menciptakan pasar dengan mode lama. Seperti itulah yang terjadi daur ulang kecenderungan. 


Perjuangan “Bad Boy” dari Film Dilan : 1990 Menjadi Sebuah Identitas Anak Muda    

Fenomena Bad Boy yang gemar ditiru dan diidolakan oleh anak muda zaman sekarang bukan tanpa sebab. Film Dilan : 1990 menjadi salah satu alasannya. Kemampuan sinematis dalam mempengaruhi realitas menjadi jembatan atas perubahan identitas yang terjadi. Dalam film Dilan : 1990 tokoh Dilan memiliki kekuatan penokohan yang mudah diingat oleh penonton, tentunya karena ciri khas yang dimiliki, salah satunya sifatnya yang Bad Boy. Simbol-simbol ke-Bad Boy-an, seperti menggoda cewek, ikut tawuran sampai masuk gank motor. Hal semacam itu bukan malah menjadi penonton geram atas tindakannya, tetapi menjadi sebuah tindakan yang heroik. Kenapa hal semacam itu terjadi? Dari sinilah Ariel Haryanto mencoba menganalisis fenomena seperti itu dalam bukunya, “Identitas dan Kenikamatan”. Kemampuan sinematis bisa mem-frame sisi lain suatu identitas, yang dalam film Dilan adalah Bad Boy. Masyarakat memperoleh Role Model baru dalam mencapai eksistensi mereka. Ada rasa nikmat ketika transisi identitas terjadi, walaupun masyarakat tanpa sadar masuk dalam perangkap kapitalisme. 

Lewat Film Dilan : 1990 sepertinya “Bad Boy” melakukan balas dendam, di mana sekian tahun selalu berkonotasi negatif akhirnya sedikit bisa diterima bahkan ditiru oleh kalangan muda. Dahulu Bad Boy sangat susah untuk diterima masyarakat, jangankan diterima, untuk sekadar PDKT dengan cewek saja sudah susah. Namum sekarang ada keterbalikan. Cewek-cewek akan mencari cowok beritpe Bad Boy. Sampai sejauh itulah dampak yang dihasilkan oleh sebuah film. Tidak berhenti di sana saja, seperti tidak kalah ikut campurnya, media juga ikut serta membantu penyebaran penguatan identitas Bad Boy, dengan bertebaran meme, berita atau potongan kata-kata dalam adegan film tersebut. Perjuangan Bad Boy membuahkan hasil yang cukup mengesankan, dibuktikan film Dilan mampu menciptakan 3 sekuel dalam tiga tahun, seperti selalu memperbarui. Bahkan saat ini Bad Boy memiliki beberapa kategori sebagai perkembangannya, yakni Fuck Boy, Jamet, Sad Boy. Istilah-istilah itu muncul dalam masyarakat atas perkembangan identitas lewat budaya populer industri perfilman. 

Dalam masa transisi seperti ini, menurut Ariel Haryanto akan terjadi persaingan sinematis. Ketika identitas sudah terbentuk, pasar terbuka, jika pasar terbuka dan kompetisi ada, maka film-film serupa akan muncul. Kapitaliasme melihat adanya transisi identitas sebagai peluang yang besar untuk mengeksploitasi nilai dalam masyarakat.


Standarisasi Keren Terbaru adalah “Bad Boy” 

Tidak hanya eksploitasi nilai dan pasar saja yang terjadi akibat transisi identitas, tetapi juga moralitas mengalami dampak yang serupa. Walaupun juga dalam film Dilan : 1990 sisi yang ditampilkan atas dasar romantisme, walau demikian hal semacam itu adalah strategi kapitalisme. Unsur romantisme sampai kapan pun akan menjadi unsur yang paling diminati oleh masyarakat. 

Tampilan jaket levis dan motor menajdi identitas yang khas dari sosok Dilan. Semanjak itu terjadi karakter tersebut menjadi idola banyak kalangan anak muda, mengimitasi hal tersebut terus mewabah di dunia nyata, bahkan kalimat yang menjadi skrip dalam film yang dianggap “Romantis” menjadi hadist bagi sebagaian orang untuk menyempurnakan meniru sosok Dilan. Maka, tercipta standarisasi keren. Bad Boy di sini bukan menjadi suatu label untuk menyimbolkan sifat, tetapi tampilan. Adopsi Bad Boy dalam Dilan, hanya diambil tampilannya saja. Terkadang beberapa cuitan di media sosial mengarahkan beberapa pembahasan pada sifat Bad Boy yang benar-benar didambakan. 

Berbicara Bad Boy yang menjadi kecenderungan anak muda sekarang, tidak terlepas karena kemunculan simbol-simbol yang memperdaya masyarakat. Meminjam Semiotika Visual Kris Budiman, melihat yang terjadi pada film Dilan : 1990, adalah sebuah representasi simbol yang melenakan masyarakat. Ditambah penciptaan adegan yang iconic membuatnya mampu dengan mudah diingat oleh penonton. Metode seperti itu digunakan oleh industri perfilman sebagai upaya membantuk tren yang diikuti oleh orang.  Dengan hadirnya sosok Dilan di tengah masyarakat, membaut sosok tersebut sebagai Role Model baru untuk dijadikan tolok ukur “keren”.


*Ananta Bagus Prasetya, dikenal sebagai Ananta Cepez. Lahir di Lamongan, 30 Maret 1999. Salah satu pendiri perpus KANAL. Beberapa karya pernah mengudara di Alinea Publishing ; Kembang Merah (2019) dan Pohon Coklat (2020). Jejaknya ada di IG: @anantacepez

Email: anantabejo17@gmail.com.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

Upacara Penyeretan Jiwa : Sepilihan Cerpen Ahmad Farid Yahya