Kok Kebangeten Men
(Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik)
Oleh: Ahmad Farid Yahya
Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu.
Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswanya. Tetapi kebanyakan kampus malah diam-diaman saja pura-pura tak mendengar jeritan mahasiswanya.
Jika saja tak ada larangan berkerumun barangkali aksi mahasiswa menuntut keringanan SPP sudah terjadi di mana-mana. Bagaimana tidak, kuliah online yang hanya lewat daring tersebut tak memberikan alasan yang cukup kuat untuk membuat mahasiswa harus membayar biaya SPP. Kalau kita mau berpikir lebih terbuka lagi dan lebih legowo dalam memahami mahasiswa, barangkali kita akan menemukan jeritan-jeritan yang bunyinya kira-kira seperti, "Jangan menipu kami. Kembalikan uang kami!"
Dua kalimat itu saja semestinya sudah cukup mengejutkan, dan semestinya sudah cukup menohok birokrat kampus. Sebagai mahasiswa memang semestinya--atau tak semestinya juga--tak berpikir seperti itu. Akan tetapi, jika sudut pandang kita berpaling memakai sudut pandang pengajar atau dosen, sebenarnya perasaan membohongi diri sendiri pun akan muncul. "Lantas apa yang bisa digaji dari seorang dosen yang mengabsensi mahasiswanya hanya dengan memberikan tugas?" Barangkali seperti itulah isi hati seseorang yang memiliki jiwa pengajar yang suci.
Tetapi posisi dosen di sini sebenarnya juga serba salah. Karena sebagai pengajar yang tak memiliki kedudukan untuk membuat kebijakan soal biaya pun membuatnya mau tidak mau harus menuruti instruksi dari atasan. Sekalipun bertentangan dengan hati nuraninya sendiri.
Lebih rumit lagi adalah permasalahan mahasiswa semester akhir yang sedang menjalani proses bimbingan skripsi. Biaya skripsi yang sudah dibayar, tak mungkin--setidaknya kemungkinan besar memang tak akan mungkin--dikembalikan. Jadi mau maju kena, mau mundur pun kena. Bagaimana pun skripsi harus dilanjut. Jika muncul kebijakan untuk mengganti skripsi dengan karya ilmiah yang lebih ringan pun akan membuat sedikit lega yang bercampur banyak kecewa. Sedangkan jika diteruskan akan banyak kendala. Terlebih penelitian yang mengharuskan turun lapangan. Sedangkan jika skripsi ditiadakan pun semua sudah terlanjur basah.
Bimbingan skripsi secara online dalam situasi tertentu malah bisa menjadi bom waktu bagi mahasiswa. Keteledoran pembimbing dalam melakukan koreksi terhadap skripsi mahasiswa yang diajukan dapat mengakibatkan kerugian yang tak tanggung-tanggung. Jika bimbingan secara langsung seperti tahun-tahun sebelumnya keruwetan hanya terjadi ketika dosen pembimbing sulit ditemui, maka keruwetan pada tahun ini lebih karena dosen pembimbing tak mau peduli. Proposal skripsi yang dikirim selama berhari-hari tak dibuka dan hanya tersimpan di folder, atau lebih parah masih di kotak masuk email. Mengakibatkan proses bimbingan menjadi lamban dan pada batas akhir skripsi, skripsi pun tak selesai dan harus memperpanjang masa bimbingan dengan membayar biaya lagi. Ini bom waktu yang sangat merugikan.
Namun, bukan berarti bimbingan online membikin rugi saja. Beberapa dosen pembimbing yang welcome malah membuat pengerjaan skripsi semakin cepat dan mudah karena kemudahan komunikasi yang tak mengharuskan tatap muka secara langsung. Tapi bukan berarti tak ada jenis dosen pembimbing yang molor seperti konsep pertama tadi.
Jika kondisi terus saja seperti ini, kampus diam-diam saja tanpa mau memberikan solusi, maka cocoklah bila kalimat tersebut dilemparkan pada para birokrat kampus yang tak mau membuka mata dengan memberikan keringanan pada mahasiswanya. Kok kebangeten men!
Biodata Singkat:
Ahmad Farid Yahya, pengamat politik kampus, asal Desa Kebalankulon, Sekaran, Lamongan.
Comments
Post a Comment