Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Resensi Novel Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian

Peresensi: Khoirul Abidin
Judul Buku: Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian
Penulis : Ahmad Farid Yahya
Penerbit : CV Pustaka Ilalang 
Cetakan : Pertama, Februari 2020
Tebal: viii + 124 halaman; 14,5 x 21 cm
ISBN: 978-623-7731-19-1

Sebuah Usaha Merawat Kenangan
Hari ini adalah kenangan hari esok. Pasti. Tersebab itu, menuangkan kenangan menjadi tulisan merupakan cara terbaik untuk menjaga dan merawatnya.
Tidak ada kata sia dalam memelihara kenangan, sebagaimana baiknya hidup berkaca dari belakang, kejadian atau peristiwa pada masa lalu.
Novel Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian, memoar karya Ahmad Farid Yahya merupakan salah satu wujud perawatan kenangan. Sesuai dengan kategorinya, novel memoar ini merangkum segala peristiwa hasil perjalanan hidup selama belasan tahun --mulai bayi, anak-anak, hingga remaja jelang dewasa.
Seorang Bocah (yang Menyaksikan Kematian), yang lantas menjadi tokoh utama dalam novel memoar ini bukan lain penulis sendiri. Terang Farid memosisikan dirinya sebagai pelaku yang bersentuhan langsung dengan segala siklus kehidupan dari jarak terdekat. Bahagia, sedih, jatuh, bangkit, tersenyum, tertawa, mengeluh, susah hati, hingga menangis semuanya terbungkus menjadi bingkisan biografis yang manis.
***
Semua Berpasangan
Kisah kelahiran seorang bayi yang berbarengan dengan masuknya aliran listrik di desa Kebalankulon membuka petualangan kita menjelajahi novel ini.
Lahir berarti hidup. Artinya, bila seorang telah 'lahir' atau 'hidup', maka cepat atau lambat akan pasti 'mati'. Sebagaimana Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan berpasang-pasangan; lelaki wanita, surga neraka, bahagia sedih, jumpa pisah, panas dingin, hidup mati.
Gambaran yang demikian itulah yang diulik-ulik oleh Ahmad Farid Yahya pada bab pertama dengan judul "Lamongan, 9 Agustus 1996". Bahwa sesungguhnya kematian bukan sesuatu yang menakutkan, dan akan pasti terjadi. Keresahan serta ketakutan muncul atas perbuatan-perbuatan semasa hidup. Oleh itu, wajiblah kita sebagai manusia untuk senantiasa wawas diri, menjauhi segala larangan, melaksanakan segala perintah termasuk berbaik kepada semua ciptaan-Nya. "Apakah mereka benar-benar bisa masuk surga dengan apa yang telah dilakukannya di dunia?"  (hal. 3).
Selain itu, teriakan untuk selalu berperilaku jujur juga ditekankan pada halaman 4, "...bayi itu hidup di zaman di mana orang berkata 'ya' namun hatinya 'tidak' padahal orang itu telah bertahun-tahun belajar ilmu agama". Apa guna kepahaman tanpa tindakan yang selaras antara hati dan ucapan, bukan?
Kenangan dan Kelokalan
Jelajah kisahkisah pada babbab selanjutnya mengingatkan kita pada tontonan televisi tahun 2000an "Si Bolang; Bocah Petualang". Farid kecil, sebagaimana bocah ndeso umumnya, senang bermain dan keluyuran hingga lupa makan. Segala jenis permainan dicicipi; sepak bola plastik, bulu tangkis dengan net jaring ikan atau kelambu bekas dan tiang bambu, pasar-pasaran, dor-doran, bekel, dan sebagainya --yang kini sulit kita temukan. Semua tempat di singgahi; lapangan, kali, sawah, rawa, jublang, pasar, dan lainnya.
Masa bocah memang masa yang paling menyenangkan. Di mana kita mulai menanam bibit mimpi, bermain sesuka hati, dan menangis hanya gegara es krim 500-an.
Dalam potongan kisah berjudul "Masa Kecil", kita akan dibenturkan kembali pada masa bocah. Farid menyuguhkan beberapa tokoh film serial yang akrab dengan kaum muda-mudi kelahiran tahun 90-an --antaranya Tsubasa, Dragonball, dan Naruto. Kesenangannya menonton film kartun menjadi pengasah salah satu hobinya. Farid paling suka menggambar Son Goku, salah satu tokoh idola dalam serial Dragonball. Hobi Farid lainnya adalah menyanyi. Kegemaran ini semakin ditekuni ketika usia remaja.
Sebagai wong ndeso, Farid tidak luput memasukkan istilah-istilah lokal --seperti kondangan (doa bareng hajatan), pawon (dapur), langgar (musala), rege (wadah nasi berlubang kecil-kecil), urop (pertukaran sesuatu), nusol (mencari ikan sisa panen), jublang (kolam tanah), walesan (pancing), landang (membantu tetangga mengurusi hajatan), dan banyak lagi. Dari sini terlihat bahwa betapa Farid tidak ingin keJawaanya, keLamongannya, keKebalankulonannya hilang tersapu angin peradaban yang begitu kencang. Bagaimanapun kelokalan tetap harus dipertahankan, begitu kiranya.
Keampuhan Asmaul Husna
Kesungguhanlah poin paling penting dalam melakukan segala hal. Kesungguhanlah kunci utama terkabulnya suatu doa. Sebagaimana dikatakan Farid lewat tiga bab terakhir dalam novel memoar ini. "Barang siapa yang membaca asmaul husna dan berdoa dengan sungguh-sungguh maka niscaya doanya akan dikabulkan"  (hal. 99).
Pada bab berjudul "Tugas", dikisahkan bahwa Mbah Nang, kakek Farid sakit parah. Setiap hari Mbah Nang hanya terbaring lemas di ranjang, bahkan sempat tak sadarkan diri pada suatu kali. Hal itu kemudian menimbulkan kesedihan di hati Farid kecil.
Farid kecil tak tega melihat kakeknya sakit. Ia ingin kakeknya sembuh, atau apapun itu yang membuat kakek tak sakit lagi. Ia ingat perkataan guru ngajinya, Pak Yai Syamsul. Bahwa betapa ampuhnya asmaul husna untuk berdoa. Sebagaimana sehat dan sakit semuanya merupakan pemberian Tuhan. Maka dengan keinginan yang mantap, kesungguhan yang bulat, Farid gegas membaca kesembilan puluh sembilan nama Tuhan, dilanjut dengan doa. Ada dua doa yang disenandungkan Farid; pertama untuk ketidaksakitan kakeknya; kedua untuk Paklik Pron, pamannya yang tak kunjung pulang selama belasan tahun.
Pembuktian keampuhan asmaul husna tampak pada bab yang berjudul "Kematian Mbah Nang", salah satu doa Farid terkabulkan. Meski kakek Farid meninggal, tetapi ia sudah tidak merasa sakit lagi. Dan kematiannya sungguh mengikuti doa Farid, "Tadi pagi-pagi kulihat masih tertidur. Terus lama-lama kok tidak bangun-bangun. Sudah siang kok masih belum bangun juga. Aku khawatir, lalu ketika dicek ternyata napasnya sudah tidak ada. Ya seperti orang tidur biasa," saksi Mbah Dhok pada halaman 109.
Pernyataan itu dipertegas lagi pada bab terakhir dengan judul "Jawaban". "Paklik Suyuti habis dapat telepon dari Paklik Pron, katanya dia mau pulang," jelas bapak Farid di halaman 120. Diceritakan bahwa tidak berselang lama, beberapa hari kemudian, Paklik Pron benar-benar pulang. Farid kecil seolah tak percaya. Doa keduanya terkabulkan. Sebelumnya, ia bahkan lupa akan doa-doanya. Ia baru tersadar akan doanya yang pertama ketika kepulangan Pakliknya.
***
Novel ini kaya kenangan dan wejangan. Membacanya butuh diam dan perenungan. Pengetahuan kelokalan yang apik, membuat Farid sangat gamblang dalam menyebutkan permainan tradisional, tempat, dan nama barang orang desa dengan cerita yang akrab digauli generasi kitar 90-an. Kata yang dibentuk sedemikian rupa dengan lembut menyentuh jurang terdalam jiwa. Memoar yang tergolong mungil ini menunjukkan kita pada keagungan Tuhan, menyadarkan kita bahwa betapa manusia tidak bisa apa-apa tanpa-Nya, betapa kita sebagai manusia harus senantiasa melihat, mengoreksi diri sendiri.
Penulisan yang memakan waktu lama, membuat beberapa kata masih mengikuti zamannya --misalnya; sekedar, pingin, dan nampak. Begitu pula kendati menceritakan masa silam, banyak terdapat kata yang sama yang diulang --saat dan sebagainya.
(20.3.20)

Comments

Popular posts from this blog

Pramoedya Ananta Toer

Jika ditanya buku siapa yang paling banyak saya baca, tentu saja akan dengan lantang saya jawab: Pramoedya Ananta Toer. Buku pertama Pramoedya yang saya baca malahan yang setahu saya paling tebal: Arus Balik. Sekitar 1000 halaman. Itu pun kubaca ketika masih semester 1. Entah 2016 atau 2017. Dari situ aku sudah mulai jatuh cinta dengan sosok satu ini. Satu-satunya Sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra dunia. Tetralogi Bumi Manusia, kubaca dengan urut. Dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Tinggal Rumah Kaca yang belum kupunya. Meski aku juga sudah tamatkan Sang Pemula, buku nonfiksi yang bisa kubilang dasar/kerangka/hasil riset roman tetralogi Bumi Manusia. Di sisi lain aku memang punya kebiasaan menghabiskan buku yang kubaca. Entah masuk ke otak atau tidak, tapi kupikir kurang saja kalau belum kukhatamkan. Pramoedya orang Blora. Arus Balik berkisah tentang Nusantara pasca keruntuhan Majapahit. Dengan setting waktu pada zaman

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg