Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Menggoyang Kekukuhan Bahasa Indonesia

Peresensi: Ahmad Farid Yahya *
Jawa Pos, 6 Desember 2020

Novel ini menyajikan kerumitan bahasa dengan tujuan membuat bahasa Indonesia berkelindan dengan bahasa daerah.

MEMBACA novel Burung Kayu serupa anak bayi belajar bahasa. Novel ini menyajikan kerumitan bahasa, di mana bahasa Mentawai berkelindan dengan bahasa Indonesia baku dalam rangkaian kalimat-paragrafnya. Tanpa catatan kaki, tanpa glosarium. Serupa anak kecil yang mulai memahami kosakata baru, satu per satu.

Burung Kayu merupakan novel yang menarik perhatian juri dalam ajang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2019. Predikat menarik perhatian juri –yang tak sampai juara I, II, maupun III ini– ternyata jebol pada ajang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019–2020. Alih-alih tersingkir pada short list, Burung Kayu malah memenanginya.

Novel ini berkisah tentang seseorang yang mau membalas dendam, tetapi tak kunjung terlaksana dan malah pindah ke tempat lain gara-gara program pemerintah. Kisah-kisah di dalamnya menyajikan kontradiksi ’’maksud baik’’ versi pemerintah dengan versi masyarakat adat. Masyarakat daerah dipaksa untuk memeluk agama resmi di negara ini dan berbagai macam ’’maksud baik’’ lain ala pemerintah.

Sebuah hal yang bertolak belakang dari kebebasan memeluk agama dan keyakinan. Selain itu, dalam novel ini Niduparas Erlang mengangkat unsur sastra lisan ke dalam Burung Kayu. Kepercayaan bahwa sikerei merupakan orang yang dipilih adalah salah satu unsur khazanah sastra lisan yang dihadirkan dalam novel Burung Kayu.

Kisah dari nenek moyang yang masih dipercaya dan dipegang teguh. Kekukuhan bahasa Indonesia dipertanyakan kembali dalam novel karya Niduparas Erlang ini. Bagaimana tidak, dalam bab-bab awal, paragraf-paragrafnya penuh dengan kosakata bahasa Mentawai yang bagaimanapun rumit sekali dimengerti oleh orang-orang yang tidak memahami bahasa tersebut. Membacanya mesti sabar dan mengerutkan dahi untuk mencari makna yang terkandung dalam kalimat-kalimatnya.

Bangunan paragraf yang penuh dengan bahasa daerah ini bukan semata-mata keidealisan penulis untuk mempertahankan bahasa asli seperti banyak penulis yang ogah mengganti istilah daerah ke bahasa Indonesia karena dirasa kurang mampu mengartikan dengan tepat. Lebih dari itu, Niduparas meramu kalimat, paragraf, jalan cerita, dengan sebegitu rupa untuk memberikan –mencekoki– anak bayi ini dengan kosakata baru.

Sehingga yang dilakukan penulis tak hanya asal menulis bahasa daerah. Tapi juga merancang keseluruhan teknik penulisan untuk membuat pembaca menjadi paham kata-kata bahasa daerah tersebut tanpa catatan kaki maupun glosarium. Melainkan dengan kosakata yang diulang-ulang pada konteks yang berbeda-beda.

Tentu teknik tersebut adalah hal yang begitu rumit. Alih-alih semata-mata idealis karena tak mau mengganti bahasa daerah dengan bahasa Indonesia yang baku, penulis melakukan inovasi yang melebihi itu. Yakni, membuat bahasa Indonesia berpelukan dengan bahasa daerah. Sebuah novel yang akan memiliki tempat tersendiri di hati pembaca.



Judul: Burung Kayu
Penulis: Niduparas Erlang
Penerbit: Teroka Press
Terbit: 2020
Tebal: 183 halaman

*) Penulis asal Lamongan. Buku yang sudah terbit: Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020) dan Upacara Penyeretan Jiwa (2020). Founder komunitas SAMUDRA. Saat ini mengelola penerbit indie Sastrakelir.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Peresensi: Ahmad Farid Yahya* Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian. Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur. Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judu...

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan...