Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Pramoedya Ananta Toer

Jika ditanya buku siapa yang paling banyak saya baca, tentu saja akan dengan lantang saya jawab: Pramoedya Ananta Toer.

Buku pertama Pramoedya yang saya baca malahan yang setahu saya paling tebal: Arus Balik. Sekitar 1000 halaman. Itu pun kubaca ketika masih semester 1. Entah 2016 atau 2017. Dari situ aku sudah mulai jatuh cinta dengan sosok satu ini. Satu-satunya Sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra dunia.

Tetralogi Bumi Manusia, kubaca dengan urut. Dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Tinggal Rumah Kaca yang belum kupunya. Meski aku juga sudah tamatkan Sang Pemula, buku nonfiksi yang bisa kubilang dasar/kerangka/hasil riset roman tetralogi Bumi Manusia. Di sisi lain aku memang punya kebiasaan menghabiskan buku yang kubaca. Entah masuk ke otak atau tidak, tapi kupikir kurang saja kalau belum kukhatamkan.

Pramoedya orang Blora. Arus Balik berkisah tentang Nusantara pasca keruntuhan Majapahit. Dengan setting waktu pada zaman tersebut. Aku sangat mengenal buku-buku Pram. Jadi aku tak mungkin silap kalau pada novel Arus Balik ada cerita tentang pembangunan jalan Deandles yang baru dibangun ketika Belanda di Indonesia. Tak mungkin. Arus Balik hanya berkisah antara keruntuhan Majapahit dan kedatangan Portugis. Tak ada Belanda. Tapi sewaktu itu dosenku tetap bilang bahwa ada pembahasan mengenai itu, di halaman 412. Ah, bahkan sekarang pun aku masih ingat halaman yang disebutkan dosenku, padahal itu sekitar 2018/2019. Keesokan hari kubuka buku yang kutaruh di bagian paling bawah itu--karena ukuran yang besar jadi kokoh--kubuka halaman 412. Memang tak ada. Sudahlah.

Novel Bumi Manusia--bagi yang belum tahu--bercerita tentang anak (atau cucu) bupati Bojonegoro yang berproses sedemikian rupa sehingga menjadi bapak pers Indonesia. Bukan semata-mata bapak pers atau penulis. Bahkan dalam buku Sang Pemula, Pramoedya menjlentrehkan bahwa kebangkitan nasional adalah sebuah kurun. Kebangkitan nasional berlangsung lama. Bukan mak bedundung Indonesia bangkit karena berdirinya Boedi Oetomo, bukan. Kebangkitan nasional semestinya dilihat dalam kurun waktu. Pada buku Sang Pemula tersebut, Minke, atau nama aslinya Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah pelopor, atau salah satu orang terpenting yang menstimulus pemikiran kebangkitan nasional. Beliau adalah pendiri beberapa organisasi besar pribumi pertama di Hindia Belanda. Antara lain Sarekat Priyai, Sarekat Dagang Priyai, Sarekat Dagang Islam. Organisasi-organisasi tersebut adalah cikal bakal berdirinya Sarekat Islam dst. Yang jika kita runutkan nanti akan sampai ke perpecahan yang cukup rumit dan tajam. Seperti PKI yang lahir dari orang-orang Sarekat Islam. Juga NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang pernah bergabung dalam Sarekat Islam HOS Tjokroaminoto. Paham NII ini kalau kita bedah ke bawah bisa sampai ke Amrozi dsb. Waktu itu, begitu mencengangkan ketika aku tahu bahwa Indonesia ini bermula dari Bojonegoro. "Yo parek-parek kene ae rek." Pikirku.

Bumi Manusia adalah novel Pram yang paling terkenal. Dipentaskan teater dengan judul "Bunga Penutup Abad". Itu nama lukisan wajah Annelies. Teater yang diperankan Reza Rahardian, Chelsea Islan, Happy Salma, Lukman Sardi, dan Sabia Arifin ini begitu memukau. Sehingga ketika ada kabar bahwa novel ini akan difilmkan, disutradarai Hanung Bramantyo dan diperankan oleh Iqbal, dunia sastra Indonesia gonjang-ganjing-gunjing. Ramai orang kecewa, pesimis dengan hasilnya.

Aku sendiri sempat kecewa. Sastra "berkualitas/tinggi/atas/legend" kok bisa-bisanya digarap secara pop. Tapi ya ditunggu saja hasilnya. Gimana-gimana itu pun permintaan Mbah Pram sendiri. Bahwa ia maunya Bumi Manusia difilmkan oleh orang kita sendiri. Aku belum nonton filmnya. Entah karena underestimate, lebih-lebih karena tak terbiasa nonton di bioskop.

Kupikir penghujatan tentang Iqbal pun juga bisa diketengahkan. Kalau aku boleh memaparkan jluntrungannya: film Bumi Manusia disutradarai Hanung dan diperankan Iqbal, sehingga mengenalkan Pram dan Bumi Manusia pada generasi masa kini. Bumi Manusia mengenalkan Tirto Adhi Soerjo (anak/cucu bupati Bojonegoro, bapak pers Indonesia). Tirto Adhi Soerjo dalam tulisan-tulisannya, mengenalkan Multatuli (Edward Douwes Dekker). Inilah proses keterpengaruhan dari zaman ke zaman. Lalu apabila Iqbal memainkan peran sebagai Minke pun dapat diterima bukan?


(Kalau ada kesalahan dan kekeliruan bisa dikoreksi di kolom komentar)
Timred-Ahmad Farid Yahya

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg

Upacara Penyeretan Jiwa : Sepilihan Cerpen Ahmad Farid Yahya

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati