Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Kenapa Aku Bisa Tiba-Tiba Saja Jadi Penulis

Jadi gini,--kenapa aku bisa tiba-tiba jadi penulis.

Sebenarnya ini bermula sejak SMP. Sewaktu kemah di kaki gunung Kelud, kelas 7. Ada lomba baca puisi "Aku" karya Chairil Anwar. aku penasaran kenapa puisi itu dilombakan, dan hanya puisi itu, tak ada pilihan puisi lain. kemudian saat kelas 8 puisi itu diajarkan lagi. kenapa puisi itu? Chairil Anwar ini siapa? ternyata baru sewaktu kuliah pendidikan aku tahu kalau yang begitu itu namanya kurikulum. Mungkin karena guru tak mencari referensi puisi lain, atau entahlah.

Kemudian ketika kelas 10 aliyah, 2012, aku sering menulis puisi di halaman belakang buku. Bisa jadi bukan karena aku puitis, lebih karena aku alay. Coba kita ulur semuanya dulu. Bayangkan, era 2011-2012 adalah masa di mana kita menulis huruf dengan kombinasi angka--yang begitu menjijikan--dan sekarang kita kesusahan baca tulisan era 2011-2012 itu. Ya, masa alay, setingkat di atas pubertas, adalah masa yang sangat produktif. Mencari hal-hal baru, mungkin demi pengakuan, uang, atau entah demi apa. Yang jelas di tahun itu tak hanya menulis puisi, aku bahkan sempat kepikiran mau bentuk sebuah boyband. Pengen muntah kalau diingat. Betapa akun facebook-ku berjumlah 7 akun. Memulai youtube, twitter, blogger, mencoba lebih keren dari yang lain.

Entah 2012 atau 2013 aku menonton video stand up comedy Raditya Dika tentang penulisan novelnya, "Kambing Jantan". Mungkin dari sini aku kepikiran untuk merumuskan novel. Novel pertama dengan judul "Sekadar Ontel Perlu Perjuangan" kutulis sekira 7 September 2013. Akhirnya naskah itu mangkrak dan aku menyerah lalu menghapusnya. Kemudian mencoba menulis novel lagi ketika kelas 12 (3 aliyah/SMA). Judulnya "Takut Mati". Novel ini kurancang lebih matang. Aku mulai membeli dan membaca beberapa buku untuk belajar dan referensi. Sampai kerangka novel ini kubawa ke Makassar ketika merantau 2015-2016. Namun di Makassar pun aku tak berhasil menyelesaikannya. Baru ketika pulang, novel ini selesai.

Puas. tapi tak puas juga. Karena ternyata aku masih terus saja menulis novel selanjutnya, cerpen, esai, puisi, berita, dll. Novel "Takut Mati" tadi baru kuedit lagi akhir 2019 dan terbit Februari 2020 lalu dengan judul baru "Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian". Judul lama kuganti. Karena kupikir judul lama tak sesuai dengan isi novel, hanya sesuai dengan bagian epilog yang malah lebih mirip esai.

Naskah ini sebenarnya memiliki perjalanan panjang. Perjuangan untuk menerbitkannya pun tak mudah. Butuh waktu 2 tahun menuliskannya, dan 4 tahun untuk menerbitkannya. Berjuang sendiri tanpa tahu di mana para pendekar sastra yang bisa membantuku. Sulit. Mulai dari ngulik soal penerbitan, dari penerbit major, indie, selfpublishing, beberapa penerbit online yang lebih seperti menipu--ah mungkin menipu terlalu kasar, lebih seperti memanfaatkan. Mencari paham mulai dari jenis kertas, ukuran per cm, isbn asli dan palsu, distribusi, dsb. Njlimet sekali.

Maka sebenarnya ketika aku meluncurkan buku ini, bukan berarti buku ini adalah naskah yang baru selesai tulis lalu kuterbitkan karena aku mampu (ada uang buat nyetak), bukan. sebelum ini aku sudah riset lama sekali soal penerbit dll., dan penerbitan bukuku ini kurasa pilihan alternatif paling baik setelah naskahku ditolak penerbit major.

Dengan latar belakang musik, kelas 3 aliyah aku ditunjuk buat ikut musikalisasi puisi di UNESA 2014. Mungkin guruku tak menyadari kalau aku juga memiliki minat terhadap sastra. bahkan mungkin lebih daripada yang ditunjuk membaca puisi. Di UNESA aku menemukan bingkai foto Chairil Anwar dengan quote, "Sekali berarti, lalu kemudian pergi". Aku seperti berjumpa dengan tokoh idolaku. Aku berfoto bersama foto itu. Menyenangkan rasanya berjumpa dengan sosok yang kita idolakan. Meski cuma fotonya. Karena orangnya sudah tak bisa kita temui di dunia.

Pulang dari Makassar, 2016 aku memutuskan untuk kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebenarnya ini pilihan kedua. Karena ternyata bapak tak setuju ketika aku bilang mau kuliah arsitektur.

Di awal semester aku begitu menggebu. Berlari kencang dengan ilmu dan pengetahuan. Dengan teman-teman sekelas yang kebanyakan tidur-tiduran dan rebahan. Apalagi ketika menemukan toko buku murah, dalam setahun aku bisa habiskan sekitar 50 buku. Setara Bill Gates. Harusnya aku sudah sekaya Bill Gates.

Terus membaca banyak novel dan buku-buku filsafat. Belajar tata bahasa, konflik, dan semua kejlimetan perbukuan. Maka kupikir salah kalau tata bahasaku bagus karena aku kuliah bahasa. Bisa dicek teman-teman sekelasku, yang kebanyakan tidak tahu cara menulis "di" sebagai preposisi dan atau awalan.

Ternyata setelah novel pertama selesai, aku masih nulis novel lagi dengan judul "Free Wifi". Ada beberapa tahap dalam proses kreatifku menulis novel. Novel pertama, yang penting jadi, selesai. Entah bagus atau jelek aku tak terlalu pikirkan. Makanya novel pertamaku berkisah tentang kehidupanku pribadi, memoar. Novel keduaku, aku mencoba menulis novel dengan lebih memperhatikan tata bahasa. Novel ketiga mencoba untuk merancang konflik lebih matang dan novel yang lebih tebal. Sebagai seorang pembaca, saya lebih tertarik dengan buku-buku yang tebal. Seperti ada tantangan. Seperti ketika dengan kebetulan saya membaca novel "Dunia Sophie" yang kemudian mengubah pola pikirku, yang kupikirkan saat itu ketika membeli novel itu hanya karena ketebalannya. Kemudian aku membeli novel "Arus Balik" pun sama alasannya, dan itu adalah novel-novel yang sangat bagus. Novel ketiga, lanjutan dari novel pertamaku--SByMK--yang masih mangkrak smpai sekarang. Judulnya "Musak-Musik" tentang kefrustrasianku dalam bermain musik. Sebelum novel itu selesai, aku sudah menyelesaikan novel lain berjudul "Wanita Salju" yang sebenarnya mangkrak juga sampai setahun, sebelum akhirnya Pak Sutardi mengabariku tentang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 dan aku menyelesaikan novel itu. Meski tak jadi mengikutkannya juga.

Setelahnya aku jadi ketagihan menulis. Menulis dan menulis. Novel judul "Pesan dari Masa Depan" masih mangkrak. Kerangka novel "Mama" yang barangkali bernuansa mirip lagu "Bohemian Rhapsody" dari Queen. Kerangka novel "Kopi Pangkon" tentang sejarah, sosial budaya, ekonomi, dan politik Lamongan, yang kuniatkan riset di 2019 ternyata bablas tak terjamah. Lalu menulis novel "Anak Band" yg juga mangkrak.

Kata Pak Pur, kita adalah magnet. Kerja keras kita akan berbuah mungkin tidak dari apa yang kita tuju, tapi dari hal-hal lain yang datang karena kita serius menuju hal tujuan tadi. Seperti puisi yang masuk antologi, dan membuat aku mendapatkan beasiswa PPA 2 periode. Lalu puisi-puisi dan cerpen yang masuk koran, antologi bersama orang-orang hebat, dan barangkali penerbitan novel pertamaku ini juga. Karena sejatinya tak ada yg benar-benar bisa diharapkan dari menulis selain keabadian--meskipun tak benar-benar bisa diharapkan juga.


Ahmad Farid Yahya

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

Upacara Penyeretan Jiwa : Sepilihan Cerpen Ahmad Farid Yahya