Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Bahasa Televisi, Bahasa Indonesia Anak Indonesia

Esai oleh: Ahmad Farid Yahya

Harusnya bahasa Indonesia kita saat berbicara dengan guru adalah bahasa Indonesia yang baku. Namun kenyataannya berlainan. Sering terjadi perbincangan antara guru dan murid yang menggunakan bahasa Indonesia yang dipelajari dari televisi. Dari sinetron-sinetron.

Yang saya alami, saya sendiri juga sering menggunakan bahasa Indonesia yang tidak baku. Sebagai orang Jawa, pertama kali belajar bahasa Indonesia ya dari televisi. Terima kasih banyak buat televisi yang telah membina intelektualitas saya, dan juga banyak orang di Indonesia ini yang bahasa daerahnya tidak menggunakan bahasa Indonesia.

Tak bisa dimungkiri bahwa televisi berperan besar dalam mencerdaskan anak-anak Indonesia dalam berbahasa. HP juga tak kalah berjasa. Ada seorang teman saya yang kelas satu sampai kelas enam MI, kemampuan membaca dan menulisnya sangat buruk. Bahkan nyaris tidak bisa. Namun setelah dia mempunyai HP, mendadak dalam waktu yang sangat singkat, kemampuan membaca dan menulisnya berkembang pesat. Sungguh dampak yang sangat positif dari teknologi. Bahkan mungkin kita dapat bersama-sama sepakat kalau pembelajaran bahasa Indonesia di kelas kalah efektif dengan metode teknologi ini.

Namun saat kemampuan berbahasa kita sudah mumpuni, harusnya kita membenahi lagi kosa kata yang kita ucapkan. Apakah sudah baik dan benar.

Bahasa Indonesia di televisi sering menggunakan kata yang tidak baku. Seperti "gitu, ngapain, kali aja," dan beberapa lagi yang tidak sesuai dengan EYD.

Terserah kita mau membenahi atau tidak. Tapi coba kita pikir dan bayangkan kalau ini terus berlanjut, bisa-bisa bahasa Indonesia kita yang asli, yang baku, hanya tinggal fosil dan mitos belaka.

Untuk yang berada di wilayah Jakarta dan sekitarnya mungkin sudah paham soal ini. Akan tetapi anak-anak daerah berbicara dengan guru memakai bahasa Indonesia saja sudah terlihat dan merasa keren. Sekalipun tidak dengan baik dan benar seperti selogan bahasa kita.

Tapi untung bangsa kita punya sesuatu yang disebut televisi. Andai tak ada televisi, mungkin bahasa Indonesia sudah seperti bahasa Inggris yang sukar dipahami. Betapa mirisnya kalau sampai seperti itu. Setidak-tidaknya anak daerah akan lebih gelagapan berbahasa Indonesia kalau tak ada televisi.

Lamongan, 02 Oktober 2016

(Dimuat di Harian Amanah)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

HMJ PBSI UNISDA LAMONGAN ADAKAN SEMINAR P2K3 SEBAGAI JAWABAN PERTANYAAN "KULIAH SASTRA MAU JADI APA?"

MENULIS SASTRA,  Mengelola Kepribadian Dan Masa Depan Kehidupan. Oleh: Rodli TL. Pandangan Umum Sastra yang merupakan serapan dari kata Shastra, bahasa Sanskerta itu teks bermakna ajaran atau pedoman. Sastra merupakan cipta manusia baik lisan maupun tulisan yang mengandung maksud nilai-nilai kebaikan yang indah dan menarik, diajarkan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya dengan kandungan keindahan. Sebagaimana Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sastra menampilkan gambaran realitas sosial yang menurut Suyitno menjadi peristiwa yang imajinatif dan kreatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya karya sastra merupakan pengalaman ekspresi dan imajinasi seseorang  berupa pikiran, perasaan, semangat dan iman sebagaimana yang diuangkapkan dengan bahasa yang indah. Werren (1989)  mengungkapkan ciri-ciri sastra yaitu: Sebuah ciptaan Luapan emosi Bersifat otonom yang selaras antara bentuk dan isi Menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentang