Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Chairil Anwar Inspirasiku



Chairil Anwar, sastrawan besar Indonesia yang lahir pada tanggal 26 Juli. Ia masih hidup sampai sekarang, meskipun ia telah meninggal lama sekali. Tapi seperti baris sajaknya "Aku mau hidup seribu tahun lagi", Chairil masih hidup dalam hati para penggemarnya. Sampai saat ini, sampai seribu tahun lagi.
Chairil Anwar adalah orang yang menginspirasiku untuk jadi sastrawan. Berawal di kelas 7 SMP saat kemah di kaki gunung Kelud Kediri. Ada tugas lomba baca puisi "Aku" dan harus puisi "Aku" karya si binatang jalang itu. Aku bingung kenapa harus puisi itu? Siapa sih dia? Apa spesialnya puisi itu dibanding puisi-puisi lain yang begitu banyaknya.
Lalu saat kelas 8, pada pelajaran Bahasa Indonesia, puisi itu diulas lagi, dijadikan tugas lagi. Disuruh mencari puisinya Chairil Anwar yang berjudul Aku. Akhirnya kubongkar laci buku kakakku untuk mencari buku berjudul "Aku" itu. Kutemukan buku yang berjudul Aku Ini Binatang Jalang.
Kubaca buku milik kakakku "Aku Ini Binatang Jalang" itu. Buku yang sebenarnya adalah skenario film dari sutradara Sjuman Djaya. Di buku ini aku sadar bahwa Chairil Anwar ini "orang gila!" Setelah itu aku selalu mengikuti berita tentangnya. Sedikit banyak aku jadi mulai suka sastra. Meskipun sampai sekarang aku belum pernah bisa membaca puisi seperti para penyair itu.
Kemudian aku menobatkan Chairil Anwar sebagai idolaku. Kelas 10 aliyah, adalah masa di mana aku mulai sering menulis puisi. Bahkan mencoba menulis novel meski gagal dan file-nya hilang.
Sewaktu kelas 12 aliyah aku ditunjuk oleh MAN BABAT (sekarang MAN 2 Lamongan) sekolahku, untuk mengikuti musikalisasi puisi tingkat nasional di UNESA (2014). Waktu itu aku sudah menyatakan diri sebagai pecinta sastra, meskipun belum terlalu jelas, setidaknya sedikit banyak aku tahu tentang dunia ini. Meski di lomba itu aku tak kebagian membaca puisi, hanya memainkan gitar dan sedikit menyanyi. Sampai saat itu aku masih belum bisa baca puisi. Bagiku membaca puisi itu super susah.
Kemudian saat di UNESA aku menemui foto Chairil Anwar berbingkai, dengan quote "Sekali Berarti Lalu Kemudian Pergi" aku langsung berfoto dengan foto itu. Aku seperti bertemu dengan sang idola. Di dalam hatiku, bisa berfoto dengan fotonya saja aku sudah bahagia.
Aku mencoba menulis novel lagi saat kelas 12. Kali ini lebih serius. Macet lama sekali. Bahkan ketika aku lulus aliyah dan merantau ke Makassar aku pun membawa serta kertas lusuh kerangka novelku. Novel berjudul "Takut Mati" yang rencana mau kuselesaikan selama setahun merantau di luar Jawa. Namun naskah itu baru selesai setelah aku pulang dan kuliah di UNISDA Lamongan. Hampir dua tahun penulisan.
Naskah novel "Takut Mati" baru sempat kubedah lagi ketika kuliahku sudah semester akhir. Di liburan menjelang semester 8 baru selesai kusunting dan akan segera terbit bulan Maret 2020. Dengan judul yang kuganti menjadi "Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian."
Sewaktu naskahku selesai dan kukirim ke penerbit, sebuah jawaban mengejutkan yang membuatku drop. Bahkan jawaban itu datang belum ada lima menit setelah kukirim naskahku. "Maaf, kami belum bisa terbitkan naskah Anda. Komposisi kalimatnya kocar-kacir." Aku hampir putus asa. Baru dikirim langsung ditolak.
Aku lalu membaca banyak sekali buku. Dalam kurun satu tahun kuhabiskan sekitar 50 buku. Meski tujuan awal menulis sekadar menuangkan pemikiran dan mencatat perjalanan hidup. Tapi aku masih terus ingin menulis. Lebih bagus lagi dan lebih bagus lagi.
Ketika aku putus asa untuk menerbitkan bukuku di penerbit major, aku memutuskan untuk mencetaknya sendiri satu eksemplar untuk koleksi pribadi. Aku meminta bantuan temanku yang ada di Bojonegoro. Ia bilang ia akan bantu menyetaknya. Kemudian saat aku sampai di rumahnya, tinta printernya habis. Lalu kakaknya bilang bahwa printernya rusak.
Padahal jarak rumahku sampai Bojonegoro bukanlah dekat. Aku merasa temanku satu ini tak terlalu mau membantuku dan tak peduli padaku. Lebih lagi aku merasa ia meremehkan dan menghinaku. Mungkin dalam pikirannya "kau tak akan bisa jadi penulis. Menulis itu susah, dan tulisanmu berantakan." Tapi sekalipun banyak sekali yang meragukanku, menghinaku. Aku masih terus saja menulis. Bahkan setelah aku gagal dan gagal lagi. Aku akan terus menulis sekalipun tak kunjung ada penerbit yang mau menerbitkan buku-bukuku.
Pada suatu ketika aku nyeletuk bikin status facebook "pengin bikin puisi judulnya Kasogi." Kemudian saat aku benar-benar membuat puisi dengan judul sempak itu, akhirnya puisi itu kubaca di alon-alon Lamongan saat bulan bahasa, pada waktu HMJ PBSI (Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) UNISDA Lamongan mengadakan acara di alon-alon Lamongan. Sampai kini masih banyak yang suka dengan puisi "Kasogi" dan kerap dibacakan di acara-acara pembacaan puisi.
Mungkin kalau saja aku tak mengenal sosok Chairil Anwar, aku tak akan memilih menjadi sastrawan seperti sekarang dan tak akan pernah menulis. Meski novelku gagal dan gagal lagi. Meski sampai kini aku masih belum bisa baca puisi dengan bagus. Setidaknya "Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi."



Ahmad Farid Yahya

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Peresensi: Ahmad Farid Yahya* Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian. Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur. Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judu...

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan...