Oleh:
Ahmad Farid Yahya
Kenapa juga harus ada
upacara hari santri begini. Ngantuk sudah. Sebangun tidur langsung salat subuh
dan ngaji, kenapa masih harus ditambah upacara. Kayak anak sekolahan saja. Kan
lebih baik aku
sembunyi saja di gudang belakang.
Ini rahasia. Beberapa
hari lalu ketika aku
bolos ngaji subuh, di gudang belakang itu, mengejutkan sekali. Kau pasti tak
akan pernah menyangka. Bahwa di lantai gudang belakang ada sebuah pintu yang
mengarah ke ruangan bawah tanah. Bangunan pesantren ini memang kuno. Sangat
mungkin kalau itu adalah ruangan rahasia sisa zaman perang dulu.
Di ruangan itu banyak
sekali buku. Gila. Bahkan buku di perpustakaan
pesantren kalah banyak dengan yang ada di ruangan itu. Kau pasti tak akan
menyangka kalau aku menemukan buku-buku dengan judul "Max Havelaar",
"Das Kapital", buku-buku
karya Jalaluddin Rumi, dan banyak sekali buku
langka lainnya yang bahkan tak ada di pasaran. Kebanyakan buku di sana tentang
filsafat, islam dan sejarah. Pernah
kubuka beberapa halaman pada buku berjudul "Max Havelaar" itu. Tepat,
aku langsung pusing membacanya.
Di salah satu sudut
dinding ruangan, terpasang sebuah foto hitam putih dengan pigura sederhana. Wajah yang sangat familier. Itu
foto Pak Kiai sewaktu muda. Dari foto itu aku berasumsi bahwa ini pasti
perpustakaan pribadi Pak Kiai. Banyak
debu di sana-sini. Menunjukkan bahwa
ruangan ini sudah lama tak dimasuki. Bahkan aku ragu kalau ada orang lain
selain aku dan Pak Kiai yang tahu rungan ini. Buku sebanyak ini, wajar saja
kalau Pak Kiai begitu cerdas. Aku kadang tak habis pikir bagaimana otak Pak
Kiai bekerja.
Seperti pada ngaji
subuh tadi. Pak Kiai membahas tentang hari santri ini. Munculnya resolusi jihad
dan efeknya kepada perjuangan para santri untuk ikut berperang membela tanah
air. Luar biasa kekuatan "Kiai".
Ah, aku mau tidur pagi
ini. Mataku masih mengantuk. Aku malas ikut upacara. Hari ini aku masuk ruangan itu lagi untuk bersembunyi.
***
Tiga lelaki itu
bersembunyi di reruntuhan bangunan. Salah satunya terjatuh dalam sebuah lubang
yang sepertinya pintu ke ruangan bawah tanah. Dua yang lainnya mengamati pintu
itu dan langsung loncat ke dalam ketika tahu bahwa tempat itu bisa jadi tempat
persembunyian yang bagus.
"Tidak
apa-apa?" Tanya pemimpin mereka yang bernama Lokajaya.
"Tidak.
Aman." Jawab Dragon. Sedang Leo hanya membersihkan pakaiannya dari debu,
pepertanda ia juga tak kenapa-kenapa.
"Sepertinya kita
memasuki ruangan aneh. Coba lihat itu. Kupikir buku model begini sudah tak lagi
digunakan di tahun 2219 ini. Bahkan perabotnya pun terlihat sangat kuno."
Kata Lokajaya pada rekan-rekannya. Mereka bertiga menggenggam senjata yang
sangat mematikan.
"Apa itu?
Sepertinya manusia?" Kata Leo.
"Ah, mana
mungkin?! Jangan konyol!" Sahut Dragon yang tak percaya dengan apa yang
mereka lihat. Seorang manusia yang memakai topi hitam lancip di kepalanya. Baju
putih dan sebuah kain yang menutupi tubuh bagian bawah. Pakaian yang sungguh
aneh ia pikir.
"Seharusnya kalau
itu manusia, ia sudah terlacak di radar yang kita curi dari tikus-tikus itu.
Kalian tahu sendiri, sudah hampir seratus tahun lamanya kelahiran manusia
selalu diawasi oleh tikus. Bayi manusia yang baru lahir langsung ditanami chip
agar bisa terlacak oleh mereka." Lokajaya menengahi.
"Apa kita perlu
memastikannya? Jangan-jangan ia sama dengan kita. Pasukan militan perang yang berhasil mencopot chip sialan itu?"
Usul Leo.
Sejak satu abad
terakhir nama-nama manusia diberi nama hewan buas dan gagah perkasa. Sebagai
suatu bentuk perlawanan terhadap para tikus. Tak ada yang menyangka bahwa dalam
seratus tahun saja tikus sudah mampu berevolusi seperti manusia. Bahkan
cenderung lebih cerdas dan licik. Ternyata selama ini tikus menguping
pembicaraan-pembicaraan manusia tentang ilmu dan pengetahuan. Dan diam-diam
melakukan banyak percobaan untuk menguasai dunia.
Akhirnya di tahun 2100
tikus sudah mampu mencapai wujud sebesar dan setegap manusia. Dalam 19 tahun
selanjutnya manusia telah penuh dikuasai tikus. Pembantaian di mana-mana.
Sebagai balas dendam atas kejahatan yng dilakukan manusia kepada tikus di masa
lalu.
Mereka bertiga
mendekati manusia yang tertidur itu. Mengamatinya seolah tak percaya. Leo
menggoyang-goyang lengannya. Tiba-tiba manusia berpakaian aneh itu bangun.
Tergeragap kemudian teriak, "Jancuk!"
Lalu tubuhnya kaku ketakutan.
"Sepertinya dia
bukan berasal
dari zaman ini." Lokajaya memasang alat penerjemah buatan tikus yang
mereka rampas.
"Kalian siapa?
Kenapa ada di sini? Apa kalian malaikat yang menjemputku? Maafkan aku, Pak
Kiai. Maaf aku tidak ikut upacara hari santri." Manusia itu masih
ketakutan sambil memohon ampun pada foto
hitam putih yang terpasang di dinding.
"Tenang, tenang.
Kami bukan orang jahat." Kata Lokajaya.
Lokajaya nampaknya
mengingat sesuatu. Nama yang diberikan padanya, kakeknya yang menamainya. Kakekknya
bilang bahwa nama Lokajaya diambil dari seorang brandal di masa lalu, yang kemudian
bertemu dengan guru spiritual dan menjadi orang yang sangat disegani di dunia.
Itu alasan kenapa namanya beda
dengan nama teman-temannya. “Suatu
saat nanti Lokajaya akan menemukan seorang guru untuk membimbingnya
menyelamatkan dunia ini.”
Pesan kakeknya.
Ia teringat dengan
pakaian aneh yang dipakai kakek dari kakeknya yang ditunjukkan kepadanya semasa
kecil dulu. Sayang sekali foto itu hilang bersama kakeknya yang tak pernah
ditemukan jasadnya. Ia pikir pakaian itu sangat mirip dengan yang dipakai orang
di depannya kini.
"Siapa
kalian?" Tanya Bambang, santri yang bolos upacara hari santri itu.
"Saya Lokajaya,
ini temanku Dragon dan Leo. Kamu sekarang berada di tahun 2219." Lokajaya
sudah mulai paham dengan keadaan
yang dihadapinya sekarang.
"Apa maksudmu? Ini
2019. Aku pasti mimpi. Atau jangan-jangan kalian jin perpustakaan ini?"
Bambang masih tak percaya dengan keadaan.
"Jadi kamu dari
2019?" Leo kaget mendengar
jawaban Bambang. "Sepertinya kau juga belum tahu kalau dunia sekarang
dikuasai tikus dan kita sedang perang melawan mereka."
"Aku ra paham
cuk!" Serapah Bambang saking pusingnya.
"Mulai sekarang
kau guru spiritualku. Dragon, Leo, beri hormat kepadanya." Lokajaya
memberi hormat pada Bambang diikuti Dragon dan Leo.
"Guru, bagaimana
kita akan melawan tikus-tikus itu? Populasi manusia sudah hampir habis. Hanya
tersisa ratusan saja dan mereka semua terkontrol pergerakannya oleh para tikus.
Tinggal kami bertiga yang bisa lolos dari radar mereka." Dragon mengungkapkan
kegelisahannya yang cenderung keputusaaanya.
"Hubbul wathon
minal iman!"
Kata Bambang memberi saran singkat kepada tiga lelaki di depannya. Ia berpikir
bahwa konteks perang yang mereka diskusikan masih sama. Meski kenyataannya sama
sekali berbeda.
Alat penerjemah yang
mereka pakai menunjukkan informasi yang begitu banyak tentang kata-kata yang
diucapkan oleh guru spiritual mereka. Cinta tanah air sebagian dari iman.
Terdapat kajian mengenai nasionalisme, islamisme, dan banyak sekali paham-paham
yang menjelaskan tentang "hubbul wathon minal iman".
Lokajaya akhirnya
kembali teguh untuk memperjuangkam umat manusia agar bisa merdeka dari jajahan
tikus. Tiga pejuang ini harus terus berjuang untuk sesuatu yang disebut
"iman" itu. Meski semenjak kakeknya hilang, ia sudah sama sekali tak
mengenal agama.
"Guru, apa kita
boleh mempelajari semua buku ini?" Tanya Lokajaya pada Bambang.
"Oh, ya! Kalian
pelajari semua buku itu. Ini perpustakaan pribadi Pak Kiai. Kalian pasti akan
menemukan banyak pengetahuan di dalamnya. Pak Kiai orang yang sangat cerdas.
Lihat di dinding itu. Itu foto masa muda
Pak Kiai." Foto itu sudah
sangat tak jelas gambarnya.
Lokajaya berpikir bahwa
Bambang agaknya masih setengah tidak percaya
dengan keadaan ini. Pak Kiai yang dilihatnya di foto pasti sudah tidak ada. 200
tahun telah terlewati.
Tiga pejuang itu segera
membuka buku-buku itu dan mempelajari bersama agar mereka bisa mengalahkan
kerajaan tikus. Membebaskan umat manusia dari penderitaan. Sedang Bambang masih berpikir bahwa ia
bertemu dengan tiga jin penunggu perpustakaan Pak Kiai.
Sementara
Lokajaya, Dragon dan Leo mempelajari buku-buku, Bambang
berjalan menuju pintu keluar ruangan bawah tanah. Ia naik ke atas. Barangkali
upacara sudah selesai, ia mau balik. Tapi yang terhampar di hadapannya hanyalah
reruntuhan bangunan.
Lamongan,
22 Oktober 2019
Comments
Post a Comment