Jam tiga pagi suara itu kencang sekali kudengar. Aku terbaring di kamar dan tak berani keluar. Membuka mata pun tak ada kupunyai nyali. Semoga malam ini mereka tak menjemputku. Suara pukulan-pukulan itu semakin nyaring saja.
Tetabuhan dilakukan bertalu-talu oleh sekelompok orang yang tersesat jiwanya. Orang-orang itu ada 30 jumlahnya. Terseret dalam tiap-tiap hari ketika musik mengerikan itu dibunyikan.
Upacara penyeretan jiwa ini terjadi 30 kali dalam setahun. Tak mesti berapa hari dalam tiap bulannya. Kadang sehari, kadang dua hari, kadang tiga hari. Tapi kali ini pawai telah berlangsung selama enam hari, dan di bulan penghujung tahun ini, hari ini adalah hari ketujuh. Genap hari ke-30 pada tahun ini.
Ganjil sekali. Karena sebelum-sebelumnya pawai ini hanya berlangsung paling lama tiga hari dalam tiap bulannya. Tapi itu terjadi karena dua bulan terakhir sama sekali tak terdengar pawai iring-iringan dengan musik mengerikan ini.
Beberapa bulan lalu para warga sempat bernapas lega karena iring-iringan musik itu tak muncul sama sekali dalam dua bulan penuh. Betapa tidak, pawai yang dilakukan oleh 30 jiwa tersesat itu sangatlah mengerikan. Setiap upacara tetabuhan itu terjadi pada jam tiga pagi, maka terseretlah satu orang yang tak beruntung. Masuk menjadi anggota iring-iringan.
Seseorang yang tak beruntung itu adalah seorang yang terpilih oleh kelompok iring-iringan musik mengerikan yang 30 jumlahnya itu. Musik itu bisa menyeret siapa saja. 30 orang itu tak mempan senjata apa pun. Bahkan tubuh mereka bisa tembus pintu rumah dan masuk begitu saja menyeret seorang tak beruntung. Lalu ketika jiwa baru bergabung, maka jiwa yang paling lama pun baru terlepas. Jiwa lama akhirnya pulang tanpa setitik pun ekspresi.
Yang menjadi semua semakin kalut adalah dalam setahun mereka menghilang entah ke mana. Seorang saksi mata menyebutkan bahwa mereka pergi dan tubuh mereka perlahan hilang. Kemudian datang lagi pada bulan depan dengan tugas mencari tumbal baru untuk menggantikan tumbal lawas.
Aku sekarang sedang menutup sekujur tubuhku dengan sarung. Serapat-rapatnya. Kuharap jiwaku pagi ini tak diseret. Aku sering dengar cerita dari tetangga bahwa ketika pagi itu sudah ada seorang yang diambil, maka hari itu tak ada lagi korban. Jadi semua orang bisa melihat kelompok iring-iringan itu. Sambil berdiam takut, melihat wajah-wajah biru yang kaku. Tanpa berani melakukan apa pun. Sekalipun melakukannya pun tak akan berbuah apa-apa. Karena tubuh mereka tembus apa pun.
Suara musik mengerikan itu semakin mendekat. Aku semakin merapatkan sarungku. Merapatkan semuanya. Terdengar jelas sekali permainan musik mereka. Dengan irama yang stabil, "Dung tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung,..." Aku sebenarnya sudah sekuat tenaga untuk mencoba tidur. Sama sekali tak ada niat untuk mengintip mereka setelah seorang korban terseret.
Beberapa temanku yang pemberani, berhari-hari lalu telah merencanakan sesuatu yang menakutkan. Saat aku ditawari untuk ikut, aku secepatnya menolak usulan itu. Sungguh itu buatku merinding. Kata orang, wajah 30 orang iringan upacara penyeretan jiwa itu sungguh kaku dan biru. Ditambah sedikit senyum yang begitu menakutkan. Aku tak mampu membayangkannya. Kurasa otakku tak punya perbendaharaan lebih untuk menggambarkan mereka. Aku menolak ajakan gila itu dan lebih memilih tidur.
Teman-temanku berencana untuk tidur di rumah Karjo, temanku yang paling kaya dan paling luas ruang tamunya. Mereka menggelar tikar di ruang tamu dan tidur bersama. Beberapa sengaja tak tidur sampai jam tiga pagi.
Para warga sudah gempar dengan berita dari sesepuh desa bahwa terakhir kali upacara penyeretan jiwa beruntun selama tujuh hari di penghujung tahun seperti sebulan ini adalah 50 tahun yang lalu. Yang seperti ini pernah terjadi. Kata sesepuh desa, 30 orang yang menjadi penabuh musik upacara penyeretan jiwa malam ini akan menghilang dalam 40 tahun ke depan dan baru muncul pada 10 tahun terakhir. Banyak di antara mereka yang bahkan istri dan anak-anaknya telah meninggal dunia selama ditinggal hilang 40 tahun itu.
Teman-temanku mendengar kabar dari sesepuh desa itu makanya mereka sedikit berani untuk menyaksikan upacara penyeretan jiwa pagi ini. Sebenarnya cuma Sukijan dan Munawar yang benar-benar berani. Tapi dengan berita bahwa ini adalah upacara terakhir sampai 40 tahun ke depan, beberapa teman lain akhirnya memberanikan diri. Salah satunya adalah Karjo. Bahkan bapaknya Karjo mendukung rencana ini, meski emaknya sempat marah-marah tapi kalah berdebat lalu memilih tidur duluan.
Rumah Karjo berdekatan dengan rumahku. Tadi malam aku sempat mampir ke rumahnya. Tapi jam delapan malam aku sudah pulang. Hari ini tak begitu larut pun rumah-rumah di desa sudah sepi terkunci.
Mereka berpikir bahwa kalau jam tiga ini sudah ada seorang yang menjadi korban, maka mereka akan keluar dan menyaksikan semuanya. Tak ada korban lagi besok, sampai 40 tahun ke depan, sekalipun mereka menontonnya. Sesungguhnya tak ada yang tahu iring-iringan itu akan menuju rumah siapa dan menyeret jiwa siapa. Tak ada yang tahu.
Jantungku berdegup semakin kencang ketika aku merasa ada yang aneh dan semakin menakutkanku. Aku merasa musik itu semakin kencang saja kudengar. Ya Tuhan, jangan aku. Jangan aku. Aku ketakutan. Musik itu begitu mengerikannya sampai aku merinding dan keringat mulai membasahi sarungku yang kugunakan menutupi sekujur tubuhku.
Suara itu semakin keras, "Dung tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung, tak dung tak dung dung dung,..." Benar-benar suara upacara penyeretan jiwa. Takutlah takut aku ini. Tubuhku gemetar.
Tiba-tiba kudengar teriakan kencang, "Aaaaa!" Lalu disusul teriakan seorang lelaki dewasa, "Karjo!" Kemudian bersahut-sahutan suara Sukijan, Munawar dan beberapa suara temanku yang kukenal, "Karjo, Karjo!" Ya Tuhan, apa Karjo telah diseret oleh iring-iringan itu?
Tanpa pikir panjang aku langsung turun dari ambin dan menyelempangkan sarungku kemudian berlari ke ruang tamu. Jantungku deg-degan, kencang sekali. Bahkan getarannya sanggup kurasa tanpa menyentuhnya. Bapak dan Emak keluar dari kamar menemuiku. Aku mengintip keadaan di luar, begitu mengerikan. Karjo terlihat kaku dan dinaikkan ke atas singgasana yang digotong beberapa orang di depan. Sedangkan musik mengikutinya di belakang. Kulihat bapaknya Karjo memanggil-manggil Karjo sampai serak. Ibunya hanya bisa menangisi Karjo yang terangkat jiwanya. Sukijan, Munawar dan beberapa temanku menangis menderu-deru. Aku juga menangis. Kulihat rombongan itu semakin jauh dan hilang. Musiknya pun semakin tak terdengar. Bapak menepuk pundakku, Emak mengusap air matanya dengan ujung baju.
Lamongan, 17 Juni 2018
(Dimuat di majalah Gelanggang FKIP UNISDA Lamongan. Edisi 28 Oktober 2018)
Comments
Post a Comment