Cerpen Karya: Ahmad Farid Yahya
Perang yang berlarut-larut membuat banyak warga melarikan diri dari wilayah kerajaan. Para praja bahkan turut pergi ketika kerajaan telah hancur-lebur.
Salah seorang prajurit yang berjulukan Syekh Kamaluddin lari jauh sampai ke pelosok hutan rimba. Menggandeng adik perempuannya. Bersama beberapa warga kerajaan yang sudah tak tahu mau ke mana lagi untuk mencari perlindungan. Karena suasana perang yang sudah sangat mencekam.
Mereka menembus hutan belantara sampai ke tepi bengawan Solo berbatasan dengan kerajaan Tuban. Akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di sana. Sementara sang Syekh agak ke timur, dan sang adik perempuan ada di selatan bengawan. Mereka membawa gerombolan warga masing-masing. Syekh Kamaluddin dan pengikutnya menempati tempat yang agak beberapa jauh dari bengawan, untuk mengawasi datangnya kerusuhan. Mereka membabat hutan agar dapat dijadikan tempat tinggal.
Kabarnya sang Syekh adalah keturunan Sunan Prapen, yang masih keturunan Rasulullah SAW. Pengikutnya selalu menurut perintahnya. Karena selain prajurit, ia juga dianggap sebagai Ki Aji. Yaitu sebutan untuk orang Islam yang berilmu, yang sekarang malih menjadi kiai.
Mereka membabat hutan dan akhirnya dapat mendirikan beberapa rumah-rumah. Kemudian membuat sumur untuk penghidupan. Sumur itu berada di sebelah barat pohon yang begitu besar, dan mengeluarkan air yang melimpah berubal-ubalan. Menghebohkan para pengikut Syekh Kamaluddin yang mengadukan hal itu padanya. Kemudian Syekh Kamaluddin memberi nama desa itu dengan nama Kebalankulon. Karena air yang meluap di sumur di sebelah baratnya pohon besar.
Syekh Kamaluddin pergi menjenguk menemui adiknya untuk memberitakan kabar penamaan desanya kepada adiknya. Namun setelah sampai di tempat adiknya, tempat itu masih seperti hutan. Masih seperti semula. Syekh memberi tahu bahwa nama desanya adalah Kebalankulon. Sang adik memahami penjelasannya. Lalu bercerita tentang kegelisahannya membabat hutan.
"Aku sudah mencobanya, Kang Mas. Namun tenaga ini tak cukup kuat untuk menebangi pohon-pohon yang sebesar-besar ini."
Syekh Kamaluddin berpikir sejenak. Pengikut adiknya rata-rata dari golongan perempuan. Mereka nampaknya kewalahan untuk membabat hutan dan mendirikan pemukiman. Akhirnya setelah berpikir, Syekh menemukan ide untuk membakar saja hutan itu.
"Bakar saja, Dik, hutan ini. Agar kau tak susah payah menebang pohon-pohon yang begitu besar."
"Kakanda memang berilmu tinggi. Baik Kakanda. Akan adik bakar hutan ini, dan sampai ke mana abu dari pembakaran itu maka sampai situlah wilayah desaku."
Kemudian sang adik memanggil para pengikutnya untuk segera menyalakan api. Hutan itu dibakar. Merah membara menjalari pohon-pohon. Lalu hutan yang kehijauan itu menjadi hitam kelam tersulut api.
Syekh Kamaluddin memperhatikan peristiwa itu, mengamatinya. Sang adik pun tertegun. Apakah dengan pembakaran hutan ini maka wilayah desanya akan terlalu luas dan merebut wilayah dari desa Kakandanya. "Abu-abu itu terbang jauh sekali, Kakanda. Tiadakah apa-apa?"
Syekh Kamaluddin lalu memandang adiknya dengan senyuman yang ramah dan berkata, "Biarlah wilayah desamu luas bahkan sampai ke seberang wilayah desaku. Suatu saat nanti biarlah anak-cucu keturunanku yang membeli wilayah itu, tanah-tanah, sawah-sawah itu dengan kekayaan mereka."
Sang adik terharu lalu memeluk Kakandanya erat. "Desa Kakanda bernama Kebalankulon. Maka mulai hari ini, adik pun mengambil nama Kebalan dari desa Kakanda, karena adik adalah adik Kakanda Syekh Kamaluddin. Desa dari abu pembakaran hutan ini, aku namai Kebalanpelang!" Semua pengikut mereka berdua bersorak, "Kebalanpelang! Kebalanpelang!"
Sejak saat itu, ada larangan bahwa warga desa Kebalankulon tidak boleh menikahi warga desa Kebalanpelang, atau sebaliknya. Karena dua desa ini saling bersaudara. Maka konon jika ada yang melanggar aturan ini akan ada musibah yang menimpanya.
Lamongan, 20 Mei 2017
(Dimuat di antologi cerpen "Jejak yang Tertinggal". Sebuah antologi bersama mahasiswa PBSI FKIP UNISDA LAMONGAN angkatan 2016 yang berisi cerpen dengan latar belakang sejarah desa masing-masing)
Comments
Post a Comment