Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian

Akhirnya. Novel pertama saya yang saya tulis sejak 2014 telah keluar dari kamar. Barangkali bukan pertama juga karena 2012 pun saya pernah menulis sebuah novel meski menyerah dan saya hapus.

Novel dengan judul "Takut Mati" yang proses penulisannya menghabiskan waktu sekitar 2 tahun. Karena pada waktu itu saya masih ragu apakah saya bisa menyelesaikan sebuah karya buku? Rasanya seperti naik gunung (summit) cuma berdua dengan temanmu yang sama itu juga pengalaman pertamanya naik gunung. Banyak berhenti di tengah-tengah, dan berpikir ulang. Gimana, diteruskan? Susah loh.

Setelah selesai di 2016, naskah kemudian saya kirim ke penerbit. Sebuah novel yang saya tulis selama 2 tahun, belum 5 menit saya kirim email ke penerbit, sudah dapat balasan email, "Maaf, naskah Anda belum bisa kami terbitkan karena ejaannya tak keruan."

Tapi anehnya saya terus saja menulis. Dan di 2019 akhir saya baru sempat menyunting ulang naskah novel ini. Merombak habis-habisan bahkan mengganti judulnya dengan "Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian". Saat menyunting naskah ini pun pikiran saya sama seperti redaktur penerbit yang dulu menolak naskah saya. Ejaannya begitu buruk. Wajar saja, karya pertama memang kita baru mencoba menyelami semua.

Novel yang agak berbau agama ini berkisah tentang aib saya sendiri di masa kecil. Tentang kekonyolan, hal-hal yang memalukan, bahkan rahasia yang tak pernah saya ungkap sampai belasan tahun lamanya. Menyenangkan akhirnya bisa menerbitkan karya ini.

Tak ada harapan apa pun. Menulis ya menulis saja. Berkarya ya berkarya saja. Selamat membaca.

Lamongan, 10 Februari 2020
(kata pengantar novel)

***

PRE ORDER!!!
29 Februari sampai 13 Maret 2020
Harga Pre Order: Rp40.000,-
Harga Normal: Rp45.000,-
Ketebalan: viii+124 halaman, A5
ISBN: 9786237731191

Pemesanan:
082333124491 (Farid)
0895808008888 (Muna)
082131115211 (Abidin)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Peresensi: Ahmad Farid Yahya* Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian. Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur. Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judu...

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan...