Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Sengketa Mayat


Oleh: Ahmad Farid Yahya
"Mbah, bukankah itu wilayah desa kita? Kenapa kampung sebelah yang merayakan segala halnya? Bagaimana juga dengan batas-batas itu, apakah semua taman, sawah, juga jalan raya yang kita mohonkan perbaikannya kepada Pak Bupati itu juga wilayah kampung sebelah?"
"Nak, kuceritai kau tentang masa silam kampung ini dan desa sebelah itu. Dan tentang kenapa taman itu jadi wilayah kampung sebelah. Padahal di situ adalah sawah-sawah orang kampungmu ini juga."
***
Dahulu kala saat kampung ini baru berdiri, ditemukan mayat di barat sana. Pada sebuah wilayah yang entah masuk wilayah kampung mana. Mayat yang membusuk itu dikerumuni banyak sekali orang, parahnya tak ada yang mau mengurus dan menguburnya. Terlebih warga kampung kita yang memang keras kepala. Mereka membiarkan mayat itu.
Setelah buntu tanpa titik temu, akhirnya dibuat sebuah kesepakatan. Barang siapa, warga kampung mana yang mau mengurus mayat tersebut, maka wilayah perbatasan antara dua desa itu­—tempat ditemukannya mayat tersebut—akan menjadi milik warga kampung itu.
Warga kampungmu tak mau mengurus mayat itu. Mereka lebih memilih kehilangan wilayah yang terlihat tak berarti. Akibatnya adalah, wilayah tersebut sah masuk wilayah kampung sebelah. Desa Besur. Wilayah perbatasan tempat mayat itu kini disebut dengan "Brak". Tak tahulah Mbah kenapa bisa dinamai begitu.
Sekarang, ketika kampung sebelah sudah begitu majunya, warga kampung kita mulai mengiri. Merasa bahwa wilayah tersebut adalah "wilayah kami". Setidak-tidaknya kita harus dapat untung dari keramaian taman sawah dari program pemerintah provinsi tersebut. Tapi apa bisa dilakukan. Karena kita memang tak punya hak atas tanah tersebut.
***
"Mbah, kemarin Kakak cerita padaku. Taman itu dulunya adalah lapangan desa, desa kita, Mbah. Kata Kakak, Kakak dulu suka main bola di sana. Ketika pelajaran olahraga Pak Guru mengajak muridnya ke lapangan itu, Mbah. Lapangan Gedhe kata Kakak. Kulihat Kakak tak suka melihat taman itu yang semakin hari semakin meriah saja."
"Nak, memang benar dulu taman itu adalah sebuah lapangan. Lapangan desa kita. Yang main bola di sana pun orang-orang dari kampung kita. Semenjak lapangan itu diambil oleh pemilik tanah dan dijadikan sawah, mutlak sudah anak muda kampung kita tak punya lapangan yang memadai. Banyak anak muda yang beralih ke bola voli dan bermain di lapangan sekolahan yang lebih sempit. Ini menyedihkan, Nak. Kita kehilangan semua. Kita hanya diberi tanah lapangan yang kalau musim hujan berubah jadi sawah, kalau musim panas jadi lapangan, dan itu pun sangat tidak memadai. Jauh lebih kecil dari Lapangan Gedhe. Tanahnya pun kasar dengan gragalan. Banyak kaki yang luka kesakitan main bola di lapangan jadi-jadian itu."
"Lapangan jadi-jadian, Mbah?"
"Sudah kubilang musim panas jadi lapangan dan musim hujan jadi sawah."
"Sekarang, Mbah?"
"Aku tak tahu, Nak, apakah itu masih bisa dipakai."
"Mbah, Kakak tadi bilang mau merusak taman sawah itu."
"Loh, loh, kok mau dirusak kenapa?"
"Aku tak tahu, Mbah. Makanya aku tanya soal sawah itu pada Mbah."
"Ayo cepat cari Kakakmu suruh pulang. Di sana sekarang sedang berkumpul orang-orang besar yang mau meresmikan taman sawah itu. Ayoh, cepat, ayoh suruh Kakakmu pulang!"
"Sekarang, Mbah?"
"Sekarang. Naik sepeda. Yang kencang!"
***
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku juga tak percaya dengan apa yang kulihat tadi. Sebentar Kakak memandang ke arahku lalu tersenyum seolah puas telah melakukan kesalahan itu. Aku langsung balik pulang. Kukayuh sepedaku kencang sekali. Hampir jatuh ketika masuk belokan ke arah rumahku.
"Mbah, Mbah." Kataku tergesa.
"Iya Nak, mana Kakakmu?"
"Kakak ditangkap, Mbah. Dipukuli warga. Saat aku sampai di sana Kakak sudah babak belur. Kudengar ada yang menelepon polisi. Kakak mau dibawa ke kantor polisi, Mbah."
Aku kemudian berlari memeluk Mbah dengan air mata bergenangan di pipiku. Mbah mengusap kepalaku menenangkan. Padahal aku tahu hati Mbah tak lebih baik daripada perasaanku.

Kebalan Kulon, Sekaran, Lamongan, 29 Oktober 2018
(Diadopsi menjadi naskah drama dan dipentaskan oleh mahasiswa PBSI UNISDA Lamongan angkatan 2016)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati

HMJ PBSI UNISDA LAMONGAN ADAKAN SEMINAR P2K3 SEBAGAI JAWABAN PERTANYAAN "KULIAH SASTRA MAU JADI APA?"

MENULIS SASTRA,  Mengelola Kepribadian Dan Masa Depan Kehidupan. Oleh: Rodli TL. Pandangan Umum Sastra yang merupakan serapan dari kata Shastra, bahasa Sanskerta itu teks bermakna ajaran atau pedoman. Sastra merupakan cipta manusia baik lisan maupun tulisan yang mengandung maksud nilai-nilai kebaikan yang indah dan menarik, diajarkan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya dengan kandungan keindahan. Sebagaimana Sapardi Djoko Damono mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sastra menampilkan gambaran realitas sosial yang menurut Suyitno menjadi peristiwa yang imajinatif dan kreatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya karya sastra merupakan pengalaman ekspresi dan imajinasi seseorang  berupa pikiran, perasaan, semangat dan iman sebagaimana yang diuangkapkan dengan bahasa yang indah. Werren (1989)  mengungkapkan ciri-ciri sastra yaitu: Sebuah ciptaan Luapan emosi Bersifat otonom yang selaras antara bentuk dan isi Menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentang