Cerpen Karya: Ahmad Farid Yahya
Begini,
Suatu hari ada mahasiswa dengan celana bolong-bolong dan baju warna merah duduk di taman kampus sambil membaca buku "Atlas Wali Songo". Katanya, angin berembus mesra, daun gugur perlahan beserta irama keresahan dan barangkali nuansa yang begitu puisi. Terlalu lama di taman membuatnya wegah dan menuju kantin, untuk sekadar menyediakan tangan.
Hei, tangan mahasiswa ini sangat laris disalami rekan-rekannya seangkatan, dan beberapa angkatan di bawahnya. Kabarnya mahasiswa ini anggota BEM kampus. Meski cuma anggota, ia begitu disegani mahasiswa lain. Karena bisa dibilang mahasiswa ini ahlinya penggiringan opini. Setidaknya begitulah anggapan ia sendiri.
Mahasiswa yang agak bohemian ini pernah diringkus satpam hanya gara-gara bikin story WA. Ternyata sekarang senjata "viral" tak kalah berbahaya dengan virus corona. Hanya dengan sekali klik "post!" maka bisa-bisa kampus rugi puluhan bahkan ratusan juta--kalau saja mahasiswa ini mau agak jahat. Gimana sistemnya? Gini, biar lebih enak nyalakan dulu rokok atau vape-mu dan sesap kopimu sedikit. Saya akan memulainya.
Pena benar-benar lebih tajam daripada pedang. Ia bisa menjangkau puluhan ribu bahkan jutaan kali lipat sasaran. Kupikir kita sudah paham bahwa pena bisa diartikan jari untuk mengetik, atau kita sebut "media" sajalah biar lebih lentur. Ketika media sudah bertindak menyebarkan isu buruk tentang kampus, nah, persebarannya akan jauh lebih cepat dari virus corona. Kalau berita buruk itu ternyata benar, alhasil kampus akan kena imbas dengan merosotnya jumlah mahasiswa baru. Dan kalau berita itu salah pun kampus masih belum dipercaya oleh khalayak.
Jadi apakah yang seperti itu merugikan kampus? Jelas, dong. Kita sama tahu bahwa mahasiswa adalah aset berharga kampus. Atau boleh dibilang mahasiswa adalah proyekan kampus. Dari dompet-dompet mereka akan terbang lembar demi lembar uang ke rekening kampus. Kalau jumlah mahasiswa merosot, maka akan semakin sedikit jumlah uang yang terbang ke kampus. Kalau sudah begitu, ya biaya kuliah dimahalkan. Sialnya solusi seperti ini adalah solusi kontradiktif yang akan memukul kampus itu sendiri karena biaya kuliah mahal malah membuat mahasiswa baru semakin menipis. Apalagi dengan kualitas kampus yang tak sepadan dengan biaya.
Di kantin, mahasiswa tadi melihat sesosok bidadari dengan senyuman tanggung yang tak bisa dilupa barangkali sampai Pak Jokowi jadi presiden 10 priode. Bidadari itu senyum-senyum sendiri memandangi HP-nya. Dengan setelan baju kotak-kotak hitam merah dan sepatu putih, si Bohemian tadi langsung mengira bahwa gadis ini MABA--istilah untuk mahasiswa baru. Selain itu, sebelumnya ia tak pernah menemui gadis ini. Cepat ia ambil HP lalu memotret gadis itu diam-diam. Dipasang di story WA dengan caption "Kantin".
Kebiasaan beberapa orang kalau di tempat umum--setelah ini boleh diamati. Atau barangkali ketawa-ketawa sendiri kalau merasa memang iya--suka membesar-besarkan diri. Menceritakan kelebihannya, kekayaannya, prestasinya. Tentu dengan volume suara agak kencang biar orang di sebelah tahu hal itu. Seolah yang diceritakan adalah hal penting yang harus diketahui semua orang.
Entah saat itu di kantin ada yang melakukan hal bodoh itu atau tidak. Yang jelas mahasiswa bohemian tadi tak merasa menyesal memilih tempat duduk dengan posisi yang pas menghadap bidadari maba itu. Beberapa kali ia merasa ada yang adem di hatinya, terlebih di matanya. Begitulah nuansa hati seorang garangan kalau bertemu dedek emesh.
Kopi dituang. Ternyata ia masih betah di kantin meski ampas kopinya terlalu kasar dan rasa kopinya terlalu manis. Sampai beberapa saat gadis itu pergi dari kantin dan hidupnya kembali seperti semula. "Seberapa indah sebuah mimpi kalau itu tetap mimpi?" Setidaknya begitulah kata cerpenis Seno Gumira Ajidarma.
Hari-hari berikutnya biasa-biasa saja. Ia kembali membaca buku. Sesekali menulis story WA yang agak menye-menye. Telah lama ia tak menulis kritikan terhadap kampus. Sudah semenjak setahun lalu. Kalau diingat-ingat terakhir ia mengritik kampus sebelum ia mendapat BH siswa dari kampus.
Lamongan, 20 Februari 2020
Comments
Post a Comment