Sudah makan? Nanti kita makan lagi. Orang-orang akhir-akhir ini lebih suka bercerita. Ah, ya, sambat. Sore tadi ada yang bilang mengenai sambat. Ya begitulah, tapi, ya, jangan terlalu sering sambat. Kemarin ketika COD juga saya dinasehati, ah tidak bukan nasehat juga, barangkali guyonan, mungkin. Saya diguyoni--yang mengarah atau setidak-tidaknya terasa menasehati--agar tidak suka sambat. Mau kujawab seketika bahwa "sambat itu sastra" tapi sungkan. Gegegege.
Begini,. Sambat adalah suatu kondisi di mana seseorang ingin meronta-ronta, menggelontorkan semua keluh-kesahnya. Ah, barangkali keluh-kesah itu sendiri telah tergolong sambat. Anggap saja saya yang kurang menguasai pedoman ejaan Bahasa Indonesia terbaru yang jarang diketahui orang; PUBEI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Orang-orang masih mengira ejaan kita EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Ah ladalah, saya bingung ini yang benar EYD atau KBBI yang saya maksud. Sudah, sudah, lanjut ke sambat saja.
Begini,. Eh, lah kok begini lagi. Tak apalah, sudah kadung. Jadi, em, iya, iya, sambat. Sambat itu sastra, loh. Loh, loh, loh, kok bisa?
Jadi, sambat adalah sebuah esensi dari konflik. Ya, sambat kan bermula dari masalah, dan barangkali sambat juga masalah itu sendiri. Jadi untuk permulaan bisa kita sepakati sementara bahwa sambat adalah konflik. Selanjutnya, konflik yang dalam kahanan ini kita sebut sambat itu tadi, adalah nama lain, atau sudah barang tentu adalah bentuk lain dari ide pokok. Nah, gimana? Sudah menemukan pencerahan pada abad kegelapan? Eh, nggeladur. Sudah dapat pencerahan dari penjelasan bahwa sambat adalah konflik dan dengan sendirinya adalah ide pokok?
Jadi, ketika sambat telah manunggal dengan ide pokok, maka semestinyalah sambat adalah sastra. Karena sebuah tulisan atau karya sastra bermula dari sebuah ide pokok. Dengan nama lain konflik. Lah wong tulisan kok enggak ada konfliknya, ya namanya ulasan, atau catatan harian, atau mungkin rangkuman, atau barangkali rekontruksi. Karena seorang sastrawan--nah akhirnya saya macak ndakik-ndakik--menulis sebuah karya sastra, biasanya--ini kalau Anda setuju, kalau tak setuju nggih monggo--berawal dari pemikiran filosofis tentang konflik. Bermula dari konflik inilah maka nantinya akan muncul kerangka cerita yang lebih luas. Karena konflik muncul dari sambat--dalam kalimat ini sambat dengan konflik kita bedakan--maka yang terjadi biasanya tulisan akan bernuansa kritik.
Kesimpulannya adalah: sambat itu penting untuk menimbulkan pikiran kritis. Eh, sepertinya kesimpulan ini salah, gegegeg.
Mari kita urai sekali lagi pewat pemahaman yang lebih--sok--filosofis. Barangkali sambat itu penting. Karena dalam hidup ini kadang kita butuh mengeluarkan apa yang menyesakkan. Seperti ketika memiliki jerawat yang terasa berdenyut-denyut. Ketika jerawat itu kita hancurkan--tentunya dengan cara yang baik--maka wajah terasa lega. Seperti ketika ingin menangis, ya menangis saja. Dan barangkali sambat adalah sebuah proses dari cara untuk mencapai kedekatan dengan diri sendiri, dan mungkin kadang-kadang dengan Tuhan. Coba kita analisa kondisi psikologi seseorang yang melakukan kegiatan bernama sambat. Ketika id, ego, dan superego berputar-putar. Maka yang lebih didahulukan yang mana? Apakah pengontrolan terhadap tindakan-tindakan buruk, atau jangan-jangan kita butuh sekali-kali berlaku buruk agar jiwa kita merdeka.
.
Nah, jika sambat dikaitkan dengan sastra maka kita sebenarnya akan menemukan bahwa hampir seluruh karya sastra di dunia ini bernuansa sambat. Lebih-lebih jika karya tersebut dinilai memiliki muatan filosofis. Karena seperti dijelaskan di atas bahwa sambat mencapai proses revolusinya sendiri menjadi konflik--yang semula sambat adalah efek dari konflik--karena memiliki esensi yang sama yaitu masalah. Dengan didasari konflik inilah ketika sambat--dalam masa atau ruang tertentu telah manunggal dengan konflik--bisa kita artikan sebagai sebuah ide pokok dalam sebuah bahan karya sastra. Yang jluntrungannya nanti bisa menjadi sebuah karya sastra yang memiliki muatan filosofis (karena sambat untuk lebih mengenal diri sendiri dan barangkali Tuhan) dan kritik sosial (karena sambat terjadi akibat dari realitas sosial yang menyesakkan).
Jadi intinya, sambat itu penting. Meski bisa juga tak penting kalau Anda menganggapnya tak penting. Tetapi setidak-tidaknya sambat bisa menumbuhkan kepekaan terhadap sekitar, lebih-lebih terhadap diri sendiri.
Ahmad Farid Yahya
Comments
Post a Comment