Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

SAMBAT ADALAH SASTRA

Sudah makan? Nanti kita makan lagi. Orang-orang akhir-akhir ini lebih suka bercerita. Ah, ya, sambat. Sore tadi ada yang bilang mengenai sambat. Ya begitulah, tapi, ya, jangan terlalu sering sambat. Kemarin ketika COD juga saya dinasehati, ah tidak bukan nasehat juga, barangkali guyonan, mungkin. Saya diguyoni--yang mengarah atau setidak-tidaknya terasa menasehati--agar tidak suka sambat. Mau kujawab seketika bahwa "sambat itu sastra" tapi sungkan. Gegegege.

Begini,. Sambat adalah suatu kondisi di mana seseorang ingin meronta-ronta, menggelontorkan semua keluh-kesahnya. Ah, barangkali keluh-kesah itu sendiri telah tergolong sambat. Anggap saja saya yang kurang menguasai pedoman ejaan Bahasa Indonesia terbaru yang jarang diketahui orang; PUBEI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Orang-orang masih mengira ejaan kita EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Ah ladalah, saya bingung ini yang benar EYD atau KBBI yang saya maksud. Sudah, sudah, lanjut ke sambat saja.

Begini,. Eh, lah kok begini lagi. Tak apalah, sudah kadung. Jadi, em, iya, iya, sambat. Sambat itu sastra, loh. Loh, loh, loh, kok bisa?

Jadi, sambat adalah sebuah esensi dari konflik. Ya, sambat kan bermula dari masalah, dan barangkali sambat juga masalah itu sendiri. Jadi untuk permulaan bisa kita sepakati sementara bahwa sambat adalah konflik. Selanjutnya, konflik yang dalam kahanan ini kita sebut sambat itu tadi, adalah nama lain, atau sudah barang tentu adalah bentuk lain dari ide pokok. Nah, gimana? Sudah menemukan pencerahan pada abad kegelapan? Eh, nggeladur. Sudah dapat pencerahan dari penjelasan bahwa sambat adalah konflik dan dengan sendirinya adalah ide pokok?

Jadi, ketika sambat telah manunggal dengan ide pokok, maka semestinyalah sambat adalah sastra. Karena sebuah tulisan atau karya sastra bermula dari sebuah ide pokok. Dengan nama lain konflik. Lah wong tulisan kok enggak ada konfliknya, ya namanya ulasan, atau catatan harian, atau mungkin rangkuman, atau barangkali rekontruksi. Karena seorang sastrawan--nah akhirnya saya macak ndakik-ndakik--menulis sebuah karya sastra, biasanya--ini kalau Anda setuju, kalau tak setuju nggih monggo--berawal dari pemikiran filosofis tentang konflik. Bermula dari konflik inilah maka nantinya akan muncul kerangka cerita yang lebih luas. Karena konflik muncul dari sambat--dalam kalimat ini sambat dengan konflik kita bedakan--maka yang terjadi biasanya tulisan akan bernuansa kritik.

Kesimpulannya adalah: sambat itu penting untuk menimbulkan pikiran kritis. Eh, sepertinya kesimpulan ini salah, gegegeg.

Mari kita urai sekali lagi pewat pemahaman yang lebih--sok--filosofis. Barangkali sambat itu penting. Karena dalam hidup ini kadang kita butuh mengeluarkan apa yang menyesakkan. Seperti ketika memiliki jerawat yang terasa berdenyut-denyut. Ketika jerawat itu kita hancurkan--tentunya dengan cara yang baik--maka wajah terasa lega. Seperti ketika ingin menangis, ya menangis saja. Dan barangkali sambat adalah sebuah proses dari cara untuk mencapai kedekatan dengan diri sendiri, dan mungkin kadang-kadang dengan Tuhan. Coba kita analisa kondisi psikologi seseorang yang melakukan kegiatan bernama sambat. Ketika id, ego, dan superego berputar-putar. Maka yang lebih didahulukan yang mana? Apakah pengontrolan terhadap tindakan-tindakan buruk, atau jangan-jangan kita butuh sekali-kali berlaku buruk agar jiwa kita merdeka.
.
Nah, jika sambat dikaitkan dengan sastra maka kita sebenarnya akan menemukan bahwa hampir seluruh karya sastra di dunia ini bernuansa sambat. Lebih-lebih jika karya tersebut dinilai memiliki muatan filosofis. Karena seperti dijelaskan di atas bahwa sambat mencapai proses revolusinya sendiri menjadi konflik--yang semula sambat adalah efek dari konflik--karena memiliki esensi yang sama yaitu masalah. Dengan didasari konflik inilah ketika sambat--dalam masa atau ruang tertentu telah manunggal dengan konflik--bisa kita artikan sebagai sebuah ide pokok dalam sebuah bahan karya sastra. Yang jluntrungannya nanti bisa menjadi sebuah karya sastra yang memiliki muatan filosofis (karena sambat untuk lebih mengenal diri sendiri dan barangkali Tuhan) dan kritik sosial (karena sambat terjadi akibat dari realitas sosial yang menyesakkan).

Jadi intinya, sambat itu penting. Meski bisa juga tak penting kalau Anda menganggapnya tak penting. Tetapi setidak-tidaknya sambat bisa menumbuhkan kepekaan terhadap sekitar, lebih-lebih terhadap diri sendiri.


Ahmad Farid Yahya

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Peresensi: Ahmad Farid Yahya* Buku ini seperti sebuah pintu gerbang yang disajikan oleh penulis untuk mengenal Edgar Allan Poe lewat Jorge Luis Borges. Sebuah buku yang bertebaran komentar-komentar sastra brilian. Borges dan Orang-Utan Abadi merupakan novela terjemahan karya penulis asal Brazil. "Luis Fernando Verissimo adalah salah satu penulis Brasil paling populer berkat kolom satirnya di mingguan nasional Veja. Dia juga seorang novelis, penulis cerita pendek, penyair, kartunis, dan musisi kenamaan. Selain Borges and the Eternal Orang-Utans (2000), karyanya yang lain adalah The Club of Angels (1998), dan The Spies (2009) (halaman iii)." Karya ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Lutfi Mardiansyah, dan diterbitkan oleh Penerbit Trubadur. Novela ini bercerita tentang seorang penulis dan penerjemah bernama Vogelstein yang sedang mengikuti konferensi perkumpulan Israfel di Buenos Aires. Kita tahu bahwa Buenos Aires adalah tempat tinggal Jorge Luis Borges. Pada judu...

Kok Kebangeten Men

Kok Kebangeten Men ( Sebuah keruwetan keringanan biaya kuliah di masa pandemik ) Oleh: Ahmad Farid Yahya Kok kebangeten men. Kalimat yang populer karena merupakan penggalan lirik sebuah lagu yang sempat naik beberapa bulan lalu, yang dipopulerkan oleh Denny Caknan dengan judul "Kartonyono Medot Janji". Agaknya kalimat tersebut begitu cocok jika dianalogikan dengan birokrat kampus pada masa pandemik ini. Terlebih jika dianalogikan dengan KEMENAG yang medot janji peringanan biaya kuliah bagi mahasiswa UIN dan IAIN beberapa waktu lalu. Pasalnya dalam pandemik yang mengakibatkan pembelajaran lewat daring yang sama sekali tidak efektif dan tak jarang hanya copy-paste formalitas tersebut membuat pelik urusan biaya. SPP kuliah misalnya. Sampai saat ini, banyak kampus bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan memberikan keringanan bagi pembayaran SPP. Terutama di kawasan Lamongan. Kampus-kampus tertentu memang memberikan kompensasi dengan pemberian kuota internet kepada mahasiswan...