Skip to main content

Membaca Borges dan Orang-Utan Abadi

Gerbang Dunia

Oleh: Ahmad Farid Yahya
Tempat itu kumuh, penuh debu, dan berjajar para gelandangan sedang tidur di situ. Kalau pagi mulai datang, orang-orang itu kebanyakan menyingkir pergi. Ada beberapa yang masih bertahan sampai akhirnya Pak Satpam mengusirnya. Kemudian malamnya mereka datang lagi untuk tidur di situ. Bagimana tidak, mereka memang tak punya rumah. Hidup di negeri yang kaya raya ini, dan tak punya rumah, adalah sebuah kehinaan.

Jam 08.00 para buruh memasuki pabrik. Sedang gelandangan itu ada yang bertahan di sekitar situ. Mau makan apa? Tak tahu. Satu orang kencing di sebuah gelas plastik bekas, lalu diminumnya kencingnya sendiri. Itu orang gila. Tak tahu mana air bersih dan tak tahu mana air kencing. Tapi setidaknya, kita dan orang gila sama tahu bahwa tak semudah itu mendapatkan air dalam gelas. Padahal airnya diambil dari negeri kita. Uang kita diambil buat bayar air itu. Rupa-rupa kekonyolan semakin menjadi.

Sore hari ketika para buruh pabrik pulang, beberapa gelandangan masih sibuk mengorek tempat sampah. Mencari sisa-sisa makanan yang dibuang. Ada yang nekat meminta-minta. Ada yang pura-pura gila. Ada yang benar-benar gila. Meski begitu, anehnya, perut kosong itu masih saja bisa bertahan buat hari-hari besok.

Malam hari, ketika gelandangan telah kenyang makan roti busuk penuh lalat, ia kembali ke pabrik itu. Di depan sana, Pak Satpam memberi toleransi pada mereka. Pak Satpam baru mengusir mereka ketika pagi tiba. Tapi kalau malam, sesungguhnya Pak Satpam juga kasihan. Kadang diambilkan minum, kadang makanan yang sengaja tak dimakan demi memberikannya pada para gelandangan itu. "Lah yo to, Pak. Ning jero pabrik kono onok ndunyo. Ra karuan megahe. Lah ning gerbang mriki kok yo koyok ngene nelangsane."

Comments

Popular posts from this blog

Menuliskan Angan-Angan, Menceritakan Pengalaman : sebuah pembacaan atas buku Upacara Penyeretan Jiwa karya Ahmad Farid Yahya

Khoirul Abidin* Dari harapan dan pengalaman, lahirlah sebuah buku Upacara Penyeretan Jiwa (sepilihan cerpen) ini. Serupa kue lapis, sepuluh "pilihan" cerita pendek dalam buku yang terbilang ramping atau tipis ini disajikan dengan berbagai warna; tema. Pada bagian awal penulis seakan mengingatkan, bahwa hidup memang penuh dengan kejutan. Apa-apa yang akan terjadi di hari depan, manusia tiada pernah bisa menebak. Untuk itu, usaha dan doa mesti selalu diselaraskan—mengingat Waktu-lah penentunya. Cinta itu buta dan tuli, lirik Lagu Galau Al Ghazali, barangkali itu yang menuntun tokoh utama dalam cerpen pembuka berjudul "Hanya Aku, dan Seumur Hidup", untuk membunuh kekasih terkasih dengan tangannya sendiri. "Aku mana bisa membiarkanmu dicintai semua orang, diperjuangkan semua orang, dan dimiliki semua orang. Aku hanya ingin kau menjadi milikku ...." Begitulah suara hati lelaki tanpa nama yang terbaca pada halaman 3. Ada kecemasan, ketakutan yang melingkari hati...

Analisis Perbandingan Teks Sastra Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma dengan Dongeng 1000 Candi (Kajian Sastra Bandingan)

Disusun Oleh: Ahmad Farid Yahya 1. Sinopsis Cerpen “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dan "Jawaban Alina" Karya Seno Gumira Ajidarma A. Sinopsis Cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku “Sepotong Senja untuk Pacarku”, sebuah cerpen yang menceritakan sebuah surat berisi sepotong senja yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada kekasihnya yang bernama Alina. Di dalam cerpen tersebut dikisahkan bahwa sang tokoh “aku” mengerat sebuah senja di tepi pantai lengkap dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Ia memang sangat ingin memberikan sepotong senja pada kekasihnya. Ia tak mau memberikan banyak kata-kata, karena pada kenyataannya kata-kata sudah tidak berguna. Di dalam cerita itu, sang tokoh “aku” berhasil mengerat sepotong senja yang ditaruh di dalam sakunya. Walaupun setelah senja itu ia potong, tokoh “aku” rela dikejar-kejar oleh polisi karena ia diduga telah mencuri senja dan membuat gempar. Ia menyelip-nyelip dengan kecepatan tingg...

Pramoedya Ananta Toer

Jika ditanya buku siapa yang paling banyak saya baca, tentu saja akan dengan lantang saya jawab: Pramoedya Ananta Toer. Buku pertama Pramoedya yang saya baca malahan yang setahu saya paling tebal: Arus Balik. Sekitar 1000 halaman. Itu pun kubaca ketika masih semester 1. Entah 2016 atau 2017. Dari situ aku sudah mulai jatuh cinta dengan sosok satu ini. Satu-satunya Sastrawan Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi nobel sastra dunia. Tetralogi Bumi Manusia, kubaca dengan urut. Dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah. Tinggal Rumah Kaca yang belum kupunya. Meski aku juga sudah tamatkan Sang Pemula, buku nonfiksi yang bisa kubilang dasar/kerangka/hasil riset roman tetralogi Bumi Manusia. Di sisi lain aku memang punya kebiasaan menghabiskan buku yang kubaca. Entah masuk ke otak atau tidak, tapi kupikir kurang saja kalau belum kukhatamkan. Pramoedya orang Blora. Arus Balik berkisah tentang Nusantara pasca keruntuhan Majapahit. Dengan setting waktu pada zaman ...